OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pernahkah kamu merasa, bahwa apa yang kamu katakan itu bisa mengubah segalanya? Mengubah hubungan, mengubah keadaan, bahkan mengubah hidupmu? Cipto merasa dirinya adalah manusia yang paling tahu segalanya. Mulutnya tak pernah berhenti berbicara, dan setiap kata yang keluar dari bibirnya selalu terasa "bijak" menurutnya. Hari itu, seperti biasa, Cipto berkumpul dengan teman-temannya di warung kopi, memperlihatkan kehebatannya dalam berbicara.
"Hahaha, lihat deh, kalian ini! Beneran nggak ngerti ya soal ekonomi desa?" Cipto tertawa terbahak-bahak, sambil mengarahkan pandangannya pada teman-teman yang sedang duduk di sekeliling meja. "Coba deh, kalian pikirin, kalau kita mau maju, ya harus ikut yang namanya globalisasi! Kalau nggak, ya keblinger!"
Siti, teman lamanya yang kini memiliki warung makan, hanya tersenyum tipis. "Cipto, kadang kamu ngomong tanpa mikir," kata Siti pelan, tapi penuh arti.
Cipto membuang muka dengan bangga. "Siti, kamu kok masih aja warungnya sepi? Mungkin makananmu yang nggak sesuai zaman, atau harganya kemahalan, ya?" kata Cipto dengan suara keras, yang membuat orang-orang di sekitar terdiam.
Siti terdiam, matanya mulai berkaca-kaca, namun dia memilih diam. "Aku tahu, Cipto. Tapi kamu nggak tahu susahnya menjalani ini semua."
"Ah, ngapain dipikirin?" Cipto balas sambil menyedot kopi. "Gampang kok, tinggal jualan yang lebih modern dikit. Berubah dikit aja udah pasti laku!"
Siti menundukkan kepala, bibirnya mengatup rapat. "Cipto, hati-hati kata-katamu... Suatu saat, kamu akan tahu," jawabnya pelan.
Cipto melengos pergi tanpa mempedulikan perasaan Siti. "Aduh, Siti ini sensitif banget, sih!" gumamnya sambil tertawa, menganggap omongannya biasa saja. Namun, yang tak disadari Cipto adalah, kata-katanya itu seperti jarum yang menusuk dalam-dalam.
Beberapa hari setelah itu, Cipto mendengar kabar buruk. Warung Siti tutup. Bukan hanya itu, ramai orang berbisik bahwa Siti harus merelakan usahanya karena utang yang menumpuk. Cipto sedikit terkejut, tetapi perasaan itu cepat terkubur di bawah rasa percaya dirinya.
Namun, kejadian tak berhenti di situ. Keesokan harinya, Cipto bertemu Pak Rahmat, pemilik toko kelontong yang sudah tua. Pak Rahmat sedang duduk di depan tokonya, tampak lesu. Tanpa ragu, Cipto menyapanya.
"Pak Rahmat, kok toko bapak makin sepi sih? Udah zaman sekarang, jangan cuma jual barang-barang jadul!" kata Cipto dengan nada tinggi, yang langsung membuat suasana di sekitar jadi hening.
Pak Rahmat mengangkat wajahnya, menatap Cipto dengan mata tajam. "Cipto, coba deh, pikirin apa yang kamu bilang. Bisa-bisanya kamu mengomentari hidup orang lain tanpa tahu kenyataannya."
"Pak Rahmat, saya kan cuma kasih saran," jawab Cipto sembari melambaikan tangan. "Kalau cuma jualan gitu aja, gimana mau maju? Kita harus berani berubah, kan?"
Pak Rahmat memandangnya dengan tatapan yang membuat Cipto merasa tak nyaman. "Jangan pernah berpikir kamu tahu segalanya, Cipto. Dunia ini lebih besar dari apa yang bisa kamu lihat. Kata-katamu itu bisa membunuh, tau?"
Cipto tertawa. "Aduh, Pak Rahmat, kok jadi bawa-bawa kata-kata berat gitu sih? Santai aja!" Tetapi Pak Rahmat tak membalas. Dia hanya menatapnya lama, sebelum kembali menunduk.
Beberapa minggu setelah itu, toko Pak Rahmat pun tutup. Tidak ada lagi yang datang membeli barang di sana. Cipto tak merasa bersalah, malah ia semakin merasa dirinya benar. Hingga suatu malam, saat sedang duduk di kamarnya, Cipto terbangun dengan rasa gelisah yang tak biasa. Sesuatu terasa aneh. Apa yang salah dengan dunia ini?
Ia memutuskan untuk berjalan keluar, mencari udara segar. Ketika melangkah ke luar rumah, ia melihat seorang perempuan tua berdiri di depan gerbang. Itu adalah ibu Siti, yang sebelumnya hanya ia lihat sekilas. "Kau Cipto, bukan?" tanya ibu Siti dengan suara lembut, namun tajam.
"Ya, saya Cipto," jawabnya bingung, menatap wanita tua itu dengan penasaran.
Ibu Siti tersenyum, tetapi senyumnya terasa seperti pisau yang menorehkan luka. "Kamu tahu kenapa warung Siti tutup? Kenapa toko Pak Rahmat hilang? Semua itu karena kata-katamu, Cipto."
Cipto terperangah. "Apa? Kata-kataku? Siti... Pak Rahmat... nggak mungkin!"
Ibu Siti mendekatkan wajahnya, "Kamu pikir apa yang kamu ucapkan itu nggak ada pengaruhnya? Semua yang kau katakan bisa menjadi racun yang meracuni hidup orang lain. Kata-kata bisa menciptakan dunia, atau malah menghancurkannya. Dan, apa yang kamu ucapkan membuat mereka jatuh."
"Tak... tak mungkin," jawab Cipto, suaranya serak. "Aku hanya memberi saran, bukan... bukan untuk menghancurkan mereka."
Ibu Siti menggelengkan kepala. "Kata-katamu itu... seperti api yang membakar semuanya. Sekarang, kamu harus tahu bahwa kata-kata yang tak terkontrol bisa menciptakan neraka dalam hidupmu dan hidup orang lain."
Cipto terdiam. Hatinya bergetar. Ia merasa dunia di sekitarnya seperti runtuh. Semua perasaan cemas dan kesalahan yang selama ini ia abaikan kini datang bertubi-tubi. "Aku... aku tak tahu, Ibu... aku tidak tahu betapa besar dampaknya."
Ibu Siti mengangkat tangannya, menepuk pelan bahu Cipto. "Belajarlah, nak. Belajarlah untuk mengendalikan mulutmu. Jangan biarkan cangkemmu yang kosong merusak segalanya. Karena mulut bisa menipu. Dan terkadang, kita baru menyadari apa yang kita lakukan setelah semuanya terlambat."
Cipto terjatuh terduduk di tanah, menyesali segala kata-kata yang telah keluar dari mulutnya. Dunia yang penuh suara kini terasa sunyi, dan seolah tak ada jalan kembali.
Dan tiba-tiba, Cipto sadar, bahwa sesungguhnya, mulutnya yang tanpa kontrollah yang telah membentuk jurang di antara dirinya dan orang-orang yang paling ia sayangi. Mulut, yang seharusnya menjadi alat untuk berbagi kasih, kini menjadi alat penghancur segalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H