"Tak... tak mungkin," jawab Cipto, suaranya serak. "Aku hanya memberi saran, bukan... bukan untuk menghancurkan mereka."
Ibu Siti menggelengkan kepala. "Kata-katamu itu... seperti api yang membakar semuanya. Sekarang, kamu harus tahu bahwa kata-kata yang tak terkontrol bisa menciptakan neraka dalam hidupmu dan hidup orang lain."
Cipto terdiam. Hatinya bergetar. Ia merasa dunia di sekitarnya seperti runtuh. Semua perasaan cemas dan kesalahan yang selama ini ia abaikan kini datang bertubi-tubi. "Aku... aku tak tahu, Ibu... aku tidak tahu betapa besar dampaknya."
Ibu Siti mengangkat tangannya, menepuk pelan bahu Cipto. "Belajarlah, nak. Belajarlah untuk mengendalikan mulutmu. Jangan biarkan cangkemmu yang kosong merusak segalanya. Karena mulut bisa menipu. Dan terkadang, kita baru menyadari apa yang kita lakukan setelah semuanya terlambat."
Cipto terjatuh terduduk di tanah, menyesali segala kata-kata yang telah keluar dari mulutnya. Dunia yang penuh suara kini terasa sunyi, dan seolah tak ada jalan kembali.
Dan tiba-tiba, Cipto sadar, bahwa sesungguhnya, mulutnya yang tanpa kontrollah yang telah membentuk jurang di antara dirinya dan orang-orang yang paling ia sayangi. Mulut, yang seharusnya menjadi alat untuk berbagi kasih, kini menjadi alat penghancur segalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H