Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mulut

26 November 2024   04:32 Diperbarui: 26 November 2024   04:36 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pak Rahmat, kok toko bapak makin sepi sih? Udah zaman sekarang, jangan cuma jual barang-barang jadul!" kata Cipto dengan nada tinggi, yang langsung membuat suasana di sekitar jadi hening.

Pak Rahmat mengangkat wajahnya, menatap Cipto dengan mata tajam. "Cipto, coba deh, pikirin apa yang kamu bilang. Bisa-bisanya kamu mengomentari hidup orang lain tanpa tahu kenyataannya."

"Pak Rahmat, saya kan cuma kasih saran," jawab Cipto sembari melambaikan tangan. "Kalau cuma jualan gitu aja, gimana mau maju? Kita harus berani berubah, kan?"

Pak Rahmat memandangnya dengan tatapan yang membuat Cipto merasa tak nyaman. "Jangan pernah berpikir kamu tahu segalanya, Cipto. Dunia ini lebih besar dari apa yang bisa kamu lihat. Kata-katamu itu bisa membunuh, tau?"

Cipto tertawa. "Aduh, Pak Rahmat, kok jadi bawa-bawa kata-kata berat gitu sih? Santai aja!" Tetapi Pak Rahmat tak membalas. Dia hanya menatapnya lama, sebelum kembali menunduk.

Beberapa minggu setelah itu, toko Pak Rahmat pun tutup. Tidak ada lagi yang datang membeli barang di sana. Cipto tak merasa bersalah, malah ia semakin merasa dirinya benar. Hingga suatu malam, saat sedang duduk di kamarnya, Cipto terbangun dengan rasa gelisah yang tak biasa. Sesuatu terasa aneh. Apa yang salah dengan dunia ini?

Ia memutuskan untuk berjalan keluar, mencari udara segar. Ketika melangkah ke luar rumah, ia melihat seorang perempuan tua berdiri di depan gerbang. Itu adalah ibu Siti, yang sebelumnya hanya ia lihat sekilas. "Kau Cipto, bukan?" tanya ibu Siti dengan suara lembut, namun tajam.

"Ya, saya Cipto," jawabnya bingung, menatap wanita tua itu dengan penasaran.

Ibu Siti tersenyum, tetapi senyumnya terasa seperti pisau yang menorehkan luka. "Kamu tahu kenapa warung Siti tutup? Kenapa toko Pak Rahmat hilang? Semua itu karena kata-katamu, Cipto."

Cipto terperangah. "Apa? Kata-kataku? Siti... Pak Rahmat... nggak mungkin!"

Ibu Siti mendekatkan wajahnya, "Kamu pikir apa yang kamu ucapkan itu nggak ada pengaruhnya? Semua yang kau katakan bisa menjadi racun yang meracuni hidup orang lain. Kata-kata bisa menciptakan dunia, atau malah menghancurkannya. Dan, apa yang kamu ucapkan membuat mereka jatuh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun