OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pernahkah kau merasa sudah benar-benar melihat segalanya dengan jelas? Aji merasa dirinya tak terkalahkan. Di usia muda, dengan kecerdasannya yang luar biasa, dia menjadi idola di desa itu. Semua orang memandangnya sebagai pemuda yang bakal mengubah dunia. Bahkan, para sesepuh pun tak ragu memberi penghormatan saat dia berbicara. Tapi, satu pertemuan kecil di balai desa akan mengubah segalanya.
Pada suatu hari, Aji diberi kesempatan untuk berbicara tentang solusi ekonomi desa. Semua mata tertuju padanya, dan ia berbicara dengan penuh percaya diri. "Kita harus mengikuti data dan logika. Ini cara terbaik untuk keluar dari krisis," ujar Aji dengan nada meyakinkan. Warga desa mengangguk-angguk, terpukau oleh setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Namun, tiba-tiba, seorang kakek tua berdiri dari kerumunan. Haji Salim, yang dikenal bijaksana, menatap Aji dengan mata yang dalam. "Aji," kata Haji Salim, suaranya pelan namun penuh makna, "apa yang kamu katakan benar, tapi apakah kamu sudah melihat semua sisi masalah ini? Jangan hanya terjebak pada angka dan teori."
Aji tersentak. "Apa maksudnya, Haji? Semua yang saya sampaikan berdasarkan data yang jelas. Bukankah itu yang kita butuhkan?" jawab Aji dengan sedikit terburu-buru.
Haji Salim tersenyum, "Kadang-kadang, Aji, data hanya menunjukkan apa yang bisa kita lihat. Tapi ada banyak hal di luar itu yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala."
Aji merasa dipermalukan. "Saya tahu apa yang saya lakukan, Haji. Saya sudah mempersiapkan semuanya," jawabnya dengan angkuh.
"Ya, kamu benar-benar mempersiapkannya. Tapi apakah kamu siap menerima kenyataan bahwa kamu bisa salah?" tanya Haji Salim, nadanya tenang tapi menohok. Suasana di ruangan itu tiba-tiba terasa kaku.
Aji merasakan panas di wajahnya, kemarahan mulai mengalir di dalam dirinya. Tapi, entah kenapa, ada perasaan yang ganjil yang mulai mengusik hatinya. Ketika pertemuan berakhir, Aji meninggalkan balai desa dengan langkah cepat, tetapi pikirannya tetap terhenti pada kata-kata Haji Salim.
Malam itu, di kamarnya, Aji terjaga. Ia melihat refleksi dirinya di cermin. "Apakah aku benar-benar tahu semuanya?" tanyanya pada dirinya sendiri. Tiba-tiba, kalimat Haji Salim kembali terngiang. "Kamu bisa salah, Aji."
Keesokan harinya, Aji memutuskan untuk menemui Haji Salim. "Haji, saya ingin belajar lebih banyak dari Anda. Mungkin saya memang belum melihat semuanya."
Haji Salim memandangnya dengan tatapan penuh makna, "Kadang, Aji, kita perlu belajar menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat segalanya sendirian. Belajarlah untuk mendengarkan."
Aji tersenyum canggung. Hari-hari berikutnya, Aji mulai membuka diri. Ia mendengarkan pendapat orang lain, menerima kritik, dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia buat. Namun, perubahan besar terjadi saat ia kembali diberi kesempatan untuk berbicara di depan warga desa.
Ketika Aji berdiri di depan mereka, seketika ia merasakan ada yang aneh. Kalimat-kalimat yang biasa keluar dengan lancar kini tersangkut di tenggorokannya. Wajahnya pucat, matanya kabur. "Kita... kita harus..." Aji terhenti. Suasana di balai desa hening, sepi.
Semua mata tertuju padanya. Tak ada kata-kata lagi yang bisa keluar. Aji merasa seolah dunia runtuh di sekelilingnya.
Haji Salim yang duduk di barisan belakang bangkit dan mendekat. "Aji," katanya lembut, "lihatlah, kadang kita perlu jatuh untuk tahu di mana kita berdiri. Jangan takut untuk menerima kelemahanmu. Itu yang akan membawa perubahan sejati."
Aji menatap Haji Salim, tersenyum, dan dengan suara pelan, ia berkata, "Terima kasih, Haji. Saya mulai memahami."
Pada saat itu, Aji tahu bahwa meskipun dia tak sempurna, dia sedang dipimpin untuk menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H