Haji Salim memandangnya dengan tatapan penuh makna, "Kadang, Aji, kita perlu belajar menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat segalanya sendirian. Belajarlah untuk mendengarkan."
Aji tersenyum canggung. Hari-hari berikutnya, Aji mulai membuka diri. Ia mendengarkan pendapat orang lain, menerima kritik, dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia buat. Namun, perubahan besar terjadi saat ia kembali diberi kesempatan untuk berbicara di depan warga desa.
Ketika Aji berdiri di depan mereka, seketika ia merasakan ada yang aneh. Kalimat-kalimat yang biasa keluar dengan lancar kini tersangkut di tenggorokannya. Wajahnya pucat, matanya kabur. "Kita... kita harus..." Aji terhenti. Suasana di balai desa hening, sepi.
Semua mata tertuju padanya. Tak ada kata-kata lagi yang bisa keluar. Aji merasa seolah dunia runtuh di sekelilingnya.
Haji Salim yang duduk di barisan belakang bangkit dan mendekat. "Aji," katanya lembut, "lihatlah, kadang kita perlu jatuh untuk tahu di mana kita berdiri. Jangan takut untuk menerima kelemahanmu. Itu yang akan membawa perubahan sejati."
Aji menatap Haji Salim, tersenyum, dan dengan suara pelan, ia berkata, "Terima kasih, Haji. Saya mulai memahami."
Pada saat itu, Aji tahu bahwa meskipun dia tak sempurna, dia sedang dipimpin untuk menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H