Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebaikan yang Mengubah Segalanya

26 November 2024   00:03 Diperbarui: 26 November 2024   00:15 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pernahkah kamu berpikir, seberapa besar arti sebuah kebaikan yang sederhana? 

Sesuatu yang kita anggap biasa, ternyata bisa menyentuh hati seseorang lebih dalam dari yang kita bayangkan. Maya, seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil, tidak pernah mengira bahwa sebuah senyuman bisa menjadi titik balik hidup seseorang.

Setiap pagi, Maya bangun dengan tekad sederhana: memberikan kebaikan pada setiap orang yang ditemuinya. Kafe kecil tempat ia bekerja bukanlah tempat mewah, namun ada sesuatu yang membuatnya berbeda---suasana yang penuh kehangatan, seperti rumah bagi siapa saja yang datang. Mungkin itu yang membuat banyak orang betah. "Sesuatu yang dimulai dengan kebaikan akan menghasilkan kebaikan," pikir Maya sambil menyajikan kopi pagi itu.

Saat itu, pria yang selalu duduk di pojok kafe datang lagi. Pria ini---yang tidak pernah berucap lebih dari sekadar 'terima kasih' dan 'selamat pagi'---masih tetap sama. Mengenakan jas hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, seakan dia selalu berusaha untuk menghindari perhatian. Setiap kali Maya menyapanya, dia hanya membalas dengan anggukan atau senyuman tipis.

"Selamat pagi, Pak. Kopi hitam seperti biasa?" Maya menyapa, matanya menatap pria itu dengan penuh perhatian.

"Ya," jawab pria itu singkat, suara berat namun penuh makna.

Maya tersenyum, lalu pergi mengambilkan kopi seperti biasa. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Seperti ada kekuatan yang mendorongnya untuk berbicara lebih banyak. Mungkin, kebaikan yang selalu ia berikan akhirnya akan membawa perubahan.

"Kenapa kamu selalu sendirian, Pak?" Maya bertanya sambil membawa kopi ke meja pria itu. "Apakah hidupmu selalu sepi seperti secangkir kopi hitam ini?"

Pria itu menatapnya, sejenak merenung. Lalu, dengan suara yang pelan namun tegas, dia berkata, "Terkadang, kita merasa sepi meskipun dikelilingi banyak orang, Maya. Seperti kopi ini... hitam, pahit, dan sepi. Begitu hidupku, penuh dengan kesendirian."

Maya terdiam. "Tapi kamu tahu kan, kadang kesepian itu hanya sebuah ilusi? Mungkin yang kamu butuhkan adalah... sedikit rasa manis. Seperti gula yang bisa membuat kopi lebih enak."

Pria itu tersenyum tipis, namun tak ada kebahagiaan di sana, hanya kelelahan yang tak terlihat. "Kamu tahu, Maya, aku tak pernah mengharapkan sesuatu yang lebih. Aku hanya ingin semuanya kembali normal. Tapi aku selalu merasa seperti... aku bukan siapa-siapa."

Maya mengernyit, menatap pria itu dalam-dalam. "Jangan pernah berpikir begitu. Kamu lebih dari apa yang kamu bayangkan. Semua orang punya tempatnya masing-masing di dunia ini."

Pria itu tertawa kecil. "Tempat? Hah. Aku hanya pemilik kafe kecil ini. Apa gunanya itu?"

Maya meletakkan gelas kopi di meja dan duduk di depannya, kali ini tanpa rasa canggung. "Kamu tidak tahu, Pak. Semua yang dimulai dengan kebaikan akan berbuah kebaikan. Mungkin kebaikan yang kamu beri pada orang lain selama ini belum membuahkan hasil yang tampak, tapi itu bukan akhir dari segalanya."

Pria itu memandang Maya, lalu matanya seolah menerawang jauh, seperti mengingat sesuatu yang terlupakan. "Kebaikan..." gumamnya. "Aku tak tahu lagi apa artinya kebaikan, Maya. Semua terasa sia-sia."

"Apa yang kamu lakukan, Pak, mungkin tak terlihat hasilnya. Tapi aku yakin, suatu hari nanti, orang-orang akan melihat dan merasakannya." Maya berbicara dengan penuh keyakinan, matanya penuh harapan. "Jangan pernah berhenti berbuat baik. Bahkan ketika dunia terasa menentang."

Tiba-tiba, pria itu mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya dan meletakkannya di meja. "Maya, aku tidak pernah berbicara banyak. Tapi kamu, kamu selalu hadir dengan kebaikanmu. Aku ingin kamu tahu bahwa... aku sebenarnya adalah orang yang kamu pikirkan selama ini."

Maya tercengang, tidak bisa berkata apa-apa. "Apa maksudmu, Pak?"

"Yang kamu lihat ini," pria itu berkata sambil menunjuk kafe kecil mereka, "adalah milikku. Aku pemiliknya."

Maya hanya terdiam, bingung dan tak percaya. "Apa? Tapi... kamu...?"

"Ya. Aku datang ke sini setiap hari bukan hanya untuk secangkir kopi, Maya. Aku datang untuk melihat... apakah ada seseorang yang masih punya kebaikan di dunia ini. Dan aku menemukannya padamu."

Maya terkejut, hampir tidak percaya. "Tapi... kenapa kamu tidak pernah memberitahuku sebelumnya?"

Pria itu tersenyum, kali ini senyuman yang penuh makna. "Karena aku ingin melihat sejauh mana kebaikanmu tanpa ada embel-embel. Tanpa tahu siapa aku. Aku ingin melihat bagaimana kamu memperlakukan orang, tanpa ada harapan apa-apa."

Maya terdiam, merasa seperti mendapat pencerahan. "Jadi... selama ini kamu..."

"Ya," pria itu mengangguk. "Aku memperhatikanmu, Maya. Kamu tidak pernah mengharap balasan, tidak pernah menginginkan apa-apa. Dan itu yang membuatmu berbeda."

Dengan tangan gemetar, Maya membuka amplop itu dan melihat cek besar di dalamnya. "Ini... ini terlalu banyak!" serunya.

Pria itu tertawa ringan. "Tidak, Maya. Ini bukan hanya tentang uang. Ini adalah tentang kebaikan yang kamu tanam. Kamu telah memberi dunia ini lebih banyak daripada yang kamu tahu."

Maya menunduk, hampir menangis. "Tapi aku hanya melakukan hal kecil. Hanya memberi sedikit kebaikan."

"Jangan meremehkan dirimu, Maya. Kebaikan yang kamu beri, meskipun tampak kecil, ternyata bisa mengubah hidupku. Kamu bukan siapa-siapa... Tapi kamu adalah segalanya bagi dirimu sendiri dan bagi orang lain."

Maya merasa hatinya penuh, seperti ada sesuatu yang baru lahir dalam dirinya. "Aku tak pernah tahu, Pak. Terima kasih."

"Jangan terima kasih padaku," jawab pria itu. "Terima kasihkan dirimu sendiri. Kamu telah menunjukkan padaku, bahwa tidak ada yang lebih berharga daripada memberi kebaikan dengan tulus."

Saat pria itu pergi, Maya melihat kafe kecil itu dengan cara yang baru. Hari ini, kebaikan yang dimulai dengan secangkir kopi dan senyuman, berbuah lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun