OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa kecil yang sunyi, hiduplah seorang pria bernama Karso. Ia dikenal sebagai orang yang keras kepala dan tertutup. Di matanya, hidup adalah tentang memberi dan menerima, namun dengan syarat---orang lain harus lebih dulu berbuat baik kepadanya.
"Kenapa harus aku yang selalu berbuat baik?" pikir Karso setiap kali tetangganya melintas tanpa menyapa. "Jika mereka tidak peduli, mengapa aku harus peduli pada mereka?"
Ia tinggal sendirian di rumah kecil yang sudah usang. Keluarganya telah lama meninggalkannya karena sikapnya yang keras, dan para tetangga pun enggan mendekat. Baginya, semua itu adalah kesalahan orang lain, bukan dirinya. Ia merasa hidupnya sudah cukup seperti ini---sendirian, tidak terganggu.
Suatu pagi, ketika Karso duduk di teras rumahnya, seorang anak kecil mengetuk pintu. Namanya Dimas, cucu dari tetangga sebelah yang baru pindah dari kota. Dimas tersenyum lebar sambil memegang sebuah kotak kecil.
"Pak Karso, ini dari Ibu. Kue untuk Bapak," katanya dengan ceria.
Karso menatap Dimas dengan curiga, merasa tidak nyaman dengan sikap anak itu. "Kenapa kamu memberi ini? Apa ada maksudnya?" tanyanya.
Dimas menggeleng dan tetap tersenyum. "Ibu bilang, tetangga itu harus saling berbagi."
Dengan enggan, Karso menerima kotak itu dan menutup pintu tanpa sepatah kata pun. Di dalam rumah, ia meletakkan kotak itu di meja tanpa membukanya. "Kebaikan itu pasti ada maunya," pikirnya. Ia merasa tidak ada yang tulus, kecuali dirinya sendiri.
Namun, hari-hari berlalu, Dimas datang lagi dan lagi---mengantar makanan kecil, membawa buah, atau sekadar menyapa dengan tawa riang. Karso merasa canggung, namun sedikit demi sedikit, ia mulai terbiasa dengan kehadiran Dimas. Anak itu selalu datang tanpa berharap apa-apa, hanya memberi.
Pada suatu hari, ketika Karso sedang duduk di teras, ia melihat Dimas yang tampak lemah, wajahnya pucat. "Kenapa kamu tidak bermain seperti biasa?" tanya Karso, merasa ada yang aneh.