OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit senja di Desa Karangjati berwarna oranye kusam, seolah menggambarkan hidup Pak Darma yang penuh keluh kesah. Usianya lima puluh tahun, tapi wajahnya yang keriput dan sorot matanya yang redup membuatnya tampak lebih tua. Di sudut desa itu, ia merenung di tepi sungai kecil.
"Miskin karena saudara rampas tanah warisan. Hidup sendiri karena istri dan anak pergi. Semua ini karena mereka! Mereka yang membuat hidupku sengsara!" keluhnya, melempar batu kecil ke sungai.
Pak Darma tinggal di rumah tua yang hampir roboh. Lima tahun terakhir, ia hidup sendirian setelah istrinya pergi, tidak tahan dengan sifatnya yang kasar. Anak-anaknya memilih menjauh. Tetangga enggan berbicara dengannya karena ia sering memaki dan menyalahkan siapa saja.
Malam itu, Pak Darma terbangun mendengar suara dari dapurnya. Dengan tongkat kayu di tangan, ia berjalan perlahan, pikirannya dipenuhi kecurigaan.
Sesampainya di dapur, ia menemukan sosok perempuan berdiri membelakanginya. Wajahnya pucat, mengenakan kain lusuh.
"Siapa kau?!" bentak Pak Darma.
Perempuan itu menoleh perlahan, menatapnya dengan mata yang tajam. "Aku adalah kebenaran yang kau hindari."
Pak Darma mengernyit. "Apa maksudmu? Jangan bicara aneh!"
Perempuan itu mendekat. "Penderitaanmu bukan karena orang lain. Semua ini berasal dari dirimu sendiri."
Pak Darma tertawa sinis. "Omong kosong! Aku menderita karena mereka! Istriku yang tidak setia, anak-anakku yang durhaka, dan saudara-saudaraku yang serakah!"