Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Kepala Sekolah SDN Kuryokalangan 02, Gabus Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Tanam, Tak Panen

24 November 2024   09:34 Diperbarui: 24 November 2024   09:37 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Langit Desa Wates berwarna kelabu, seolah tahu bahwa sesuatu buruk akan terjadi. Di pojok desa, Pak Ganda duduk di depan rumahnya yang hampir roboh. Sawahnya kosong, hasil dari kemalasannya bertahun-tahun. Tapi bukannya bekerja, ia justru menghabiskan waktu di warung, membicarakan keberuntungan tetangganya, Pak Rahman.

"Hidupnya enak karena terlalu rajin. Aku? Aku cukup ambil sedikit dari padinya. Wong kaya Rahman ora bakal rugi," gumamnya.

Ketika malam tiba, Pak Ganda melangkah ke sawah Pak Rahman dengan membawa karung dan parang. Hujan gerimis membuat udara dingin menusuk, tapi ia tak peduli. Ia mulai memetik padi sambil tertawa kecil. "Ora perlu nandur, cukup ngundhuh!" katanya dalam hati.

Namun, di tengah pekerjaannya, suara gemerisik terdengar di antara batang padi. Awalnya pelan, lalu semakin jelas, seperti langkah kaki mendekat. Pak Ganda berhenti dan memandang sekeliling, tapi tak ada siapa-siapa.

"Ganda... ora nandur... ora ngundhuh..."

Suara itu berbisik, dingin dan menyeramkan. Pak Ganda terjatuh ke belakang. "S-sopo kuwi?" teriaknya panik. Angin dingin berhembus kencang, membuat padi-padi bergoyang seperti tangan-tangan yang ingin mencengkeramnya.

Ia melempar karung dan berlari pulang. Sampai di rumah, tubuhnya gemetaran. Hujan di luar berubah menjadi badai. Angin menderu, seolah memanggil namanya. "Ganda... ora nandur... ora ngundhuh..."

Esok paginya, Pak Rahman menemukan sawahnya berantakan. Ia tahu siapa pelakunya, tapi memilih diam. Ketika bertemu Pak Ganda di jalan, ia hanya berkata, "Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai."

Pak Ganda menggerutu, tapi hatinya tak tenang. Semakin hari, hidupnya semakin sulit. Ia kehilangan sawah, rumahnya dijual untuk membayar utang, dan kesehatannya memburuk. Setiap malam, ia mendengar suara yang sama, semakin dekat dan semakin menyeramkan.

Suatu malam, saat ia terbaring lemah, suara itu datang lagi. Kali ini, bukan hanya bisikan, tapi jeritan yang menggema di seluruh rumahnya. Dinding-dinding rumahnya retak, dan dari retakan itu keluar lumpur basah yang menuliskan kata-kata:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun