OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa yang terletak di kaki gunung, hiduplah seorang pemuda bernama Arman. Arman dikenal sebagai anak muda yang cerdas dan berani. Ia selalu berusaha menjadi yang terbaik di segala hal. Tidak hanya pintar dalam hal akademis, Arman juga ahli dalam segala jenis olahraga, musik, dan bahkan dalam urusan sosial. Semua orang mengaguminya, dan itu membuat Arman merasa lebih dari orang lain.
Namun, semakin lama, Arman semakin merasa bahwa dunia ini miliknya. Semakin ia berhasil, semakin besar rasa bangganya, hingga ia lupa akan prinsip dasar dalam hidup: kesederhanaan.
Pada suatu sore, Arman mengundang teman-temannya untuk datang ke rumahnya, mengadakan perayaan atas prestasinya di bidang olimpiade matematika tingkat provinsi. Semua teman-teman Arman merasa tersanjung, namun di hati mereka, ada sesuatu yang mulai mengganggu. Perilaku Arman yang terlalu menyombongkan diri membuat mereka merasa canggung.
"Arman, kamu memang luar biasa," kata Reza, temannya yang sejak dulu merasa sedikit terpinggirkan oleh sikap Arman yang selalu merasa paling hebat. "Tapi, kamu jangan terlalu sering menekankan kehebatanmu. Tidak semua orang bisa menerima itu."
Arman tertawa, tampak seperti tidak peduli dengan kata-kata Reza. "Reza, kamu harus percaya diri! Lihatlah, ini adalah waktuku! Semua yang aku lakukan selalu berhasil."
Reza menggelengkan kepala. "Benar, Arman, kamu memang hebat. Tapi, kamu tidak bisa menganggap dirimu lebih dari yang lain. Ingat, ego yang berlebihan akan menghancurkanmu suatu saat nanti."
Arman terdiam. Ada rasa tidak suka di hatinya terhadap perkataan Reza, tetapi ia merasa aneh, ada sesuatu yang membisikkan bahwa mungkin Reza benar. Namun, ia cepat-cepat mengusir pikiran itu, merasa bahwa ia tidak butuh nasehat dari siapa pun.
Hari-hari berlalu, dan ego Arman semakin besar. Keberhasilannya yang terus menerus membuatnya merasa seperti pusat dunia. Namun, tanpa ia sadari, perasaan itu mulai menjauhkan dirinya dari orang-orang di sekitarnya. Teman-temannya mulai menjauh, dan bahkan orang tuanya pun merasakan perubahan pada sikap Arman yang kini lebih sering berbicara tentang dirinya sendiri dan jarang mendengarkan orang lain.
Pada suatu hari, saat Arman sedang berjalan melewati hutan untuk menuju ke sungai, ia bertemu dengan seorang pria tua yang sedang duduk di sebuah batu besar. Pria itu memandang Arman dengan tatapan yang penuh makna.
"Anak muda," kata pria itu dengan suara lembut, "apakah kamu tahu apa yang sedang terjadi denganmu?"