"Tapi, Pak," Surya mendesah. "Aku nggak mau anak-anakku hidup dalam kekurangan."
"Surya, kebutuhan itu beda dengan keinginan. Kamu sekarang dikuasai oleh ego yang menginginkan lebih dari yang kamu butuhkan. Apakah kamu yakin menjual tanah ini adalah solusi? Atau hanya cara untuk memuaskan perasaan ingin lebih?"
Surya terdiam. Kata-kata Pak Darman menusuk hatinya, membuka sisi lain yang selama ini ia abaikan.
Hari berikutnya, Surya berdiri di tengah sawahnya. Ia memandang sekeliling dengan mata yang berbeda. Tiba-tiba ia teringat bagaimana ayahnya bekerja keras, mencangkul dari pagi hingga petang, hanya untuk memastikan mereka bisa makan dan sekolah.
"Bapak dulu nggak pernah menyerah," gumamnya sendiri. "Kenapa aku malah mencari jalan pintas?"
Keputusan besar pun lahir di hatinya. Daripada menjual tanah, ia memilih untuk mengelolanya dengan lebih baik. Ia menjual satu motor kesayangannya untuk membeli bibit baru dan pupuk organik. Ia mencari ilmu dari petani-petani muda yang menggunakan teknologi modern untuk meningkatkan hasil panen.
Setahun kemudian, sawah itu kembali hidup. Panen kali ini berlipat dari sebelumnya. Surya bahkan membuka lapangan kerja bagi beberapa tetangga yang membutuhkan.
"Mas, lihat ini!" Mira datang dengan senyum lebar, membawa laporan keuangan sederhana. "Hasil panen kita cukup untuk membayar hutang dan menyekolahkan anak-anak sampai SMA."
Surya menghela napas panjang, penuh rasa syukur. "Kamu benar, Mira. Aku hampir kehilangan akarku karena ego yang ingin lebih. Tapi sekarang aku sadar, semua ini bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi bagaimana kita menjaganya untuk kebaikan bersama."
Di malam yang hening, Surya kembali ke rumah Pak Darman untuk mengucapkan terima kasih.
"Pak, aku ingin menyampaikan satu hal," kata Surya, suaranya tenang.