OLEH: Khoeri Abdul Muid
Sore itu, Lintang berdiri di depan rumah kayunya yang sederhana. Tangan mungilnya menggenggam sebuah surat pengumuman. Di atas amplop itu tertulis tegas: Lomba Pidato Bahasa Jawa Tingkat Kabupaten.
"Bu, lihat ini!" Lintang berlari ke dapur tempat ibunya tengah menggoreng pisang. "Aku dipilih mewakili sekolah untuk lomba pidato!"
Ibunya menoleh dengan senyum bangga. "Wah, bagus, Nduk! Tapi... kok wajahmu malah kelihatan takut begitu?"
Lintang menggigit bibirnya. "Aku... aku nggak yakin, Bu. Aku kan cuma anak desa. Teman-teman dari sekolah lain pasti lebih hebat. Aku takut malu."
Ibunya berhenti sejenak, lalu duduk di bangku kayu sambil memegang tangan Lintang. "Nduk, kamu tahu kenapa burung bisa terbang?"
"Karena dia punya sayap?" jawab Lintang ragu.
"Bukan, karena dia yakin bisa terbang. Kalau dia ragu, sayap itu nggak akan berguna. Begitu juga kamu. Kalau kamu yakin, pasti bisa. Masalah menang atau kalah itu urusan nanti."
Hari demi hari, Lintang berlatih dengan keras. Ia menghafal pidatonya, memperbaiki intonasi, dan belajar menatap audiens dengan percaya diri. Tapi semakin dekat hari lomba, rasa takutnya makin besar.
Di sekolah, temannya, Sari, menyemangatinya. "Lintang, pidatomu bagus sekali! Aku yakin kamu bisa menang."
Lintang hanya tersenyum kecil. "Terima kasih, Sar. Tapi aku takut, aku ini nggak sepintar anak-anak kota."