OLEH: Khoeri Abdul Muid
Hujan turun lebat malam itu, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Di sebuah rumah tua, Raka duduk dengan gelisah di sudut ruang tamu. Tatapan matanya kosong menatap lampu minyak yang bergoyang pelan terkena tiupan angin.
"Kenapa kamu belum tidur, Nak?" tanya Pak Jaya, ayahnya, sambil melangkah perlahan dengan tongkat kayu di tangannya.
Raka menghela napas berat. "Aku sedang memikirkan sesuatu, Pak."
Pak Jaya duduk di kursi tua di seberangnya. "Apa yang membuatmu seperti ini?"
Raka menggeleng, enggan menjawab. Tetapi tatapan ayahnya yang tajam dan penuh pengertian membuatnya tak sanggup menyimpan rahasia lebih lama.
"Pak, aku lelah," ucapnya akhirnya. "Aku bekerja siang malam di ladang, tetapi hidup kita tetap begini-begini saja. Tidak ada yang berubah. Rasanya sia-sia."
Pak Jaya terdiam. Ia tahu betul betapa keras anaknya berjuang sejak ibunya meninggal. Namun, ia tak ingin anaknya menyerah.
Keesokan paginya, Pak Jaya membawa Raka ke kebun belakang rumah. Di sana, tumbuh pohon besar yang daunnya hijau dan rindang.
"Kamu tahu pohon ini?" tanya Pak Jaya.
"Tentu saja. Ini pohon mangga yang kita tanam lima tahun lalu," jawab Raka.