Pak Burhan menoleh, suaranya masih penuh amarah. "Mbah, anak ini mencuri ayam saya!"
"Sudah ada buktinya?" tanya Mbah Surti, menatapnya tajam.
Pak Burhan terdiam sejenak, lalu menggeleng kesal. "Tapi siapa lagi kalau bukan dia?!"
Mbah Surti tersenyum tipis. "Kadang prasangka itu lebih berbahaya daripada kebenaran yang sesungguhnya, Nak Burhan. Kalau memang tidak ada bukti, sebaiknya kamu jangan sembarang menuduh. Bagaimana perasaanmu kalau posisimu ditukar dengan anak ini?"
Pak Burhan terlihat bingung. Namun, sebelum ia sempat menjawab, seorang anak kecil tiba-tiba berlari dari arah rumahnya. Anak itu memegang sebuah pintu kandang ayam yang rusak.
"Bapak!" serunya. "Kandang ayamnya rusak, pintunya copot sendiri tadi pagi."
Hening seketika. Semua mata tertuju pada Pak Burhan, yang kini tampak salah tingkah. Ia menatap pintu kandang itu, lalu melihat Bima yang masih berdiri dengan wajah penuh luka batin.
"M-maaf..." gumam Pak Burhan, suaranya pelan.
Bima terdiam. Hatinya mendidih, ingin sekali ia membalas kemarahan yang tadi ia terima. Tapi, kata-kata Mbah Surti terngiang di telinganya.
"Kalau aku tidak suka diperlakukan seperti itu, apa pantas aku membalasnya dengan kejahatan juga?" pikir Bima.
Ia menarik napas panjang, lalu berkata, "Tidak apa-apa, Pak Burhan. Tapi lain kali, jangan mudah menuduh orang tanpa bukti."