"Aku nggak menyerah," ujar Wira akhirnya. "Tapi aku nggak tahu bagaimana melawan keinginan ibu yang sedang di ambang hidup dan mati."
Lestari tersenyum getir, air matanya kembali mengalir. "Wira, cinta itu harus saling menguatkan, bukan saling menyakitkan. Kalau kamu nggak bisa memperjuangkan aku, jangan datang lagi."
Wira terdiam. Ia ingin berkata, tapi dadanya terasa sesak. Dalam keheningan itu, ia berbalik dan berjalan menjauh, membiarkan hujan menyembunyikan air matanya.
Hari-hari berlalu. Lestari mencoba bangkit meski hatinya hancur. Ia sibuk membantu ibunya di ladang, menanam padi yang hampir mati karena kemarau panjang. Hujan yang baru saja turun menjadi berkah, membuat tanaman itu kembali tumbuh subur.
Namun suatu sore, saat ia sedang memetik bunga melati di halaman, seseorang muncul di depan pagar rumahnya. Wira.
"Kenapa kamu kembali?" tanya Lestari dingin.
Wira mengangkat sebuah karung kecil dan sebuah cangkul. "Aku datang untuk membantu. Aku sudah berbicara dengan ibuku. Aku tidak akan menikah dengan Sari. Aku ingin memperjuangkanmu, Lestari."
Lestari mengernyitkan dahi, tidak percaya. "Dan ibumu?"
Wira tersenyum lemah. "Awalnya sulit, tapi aku meyakinkan beliau. Aku bilang, aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai. Lestari, aku ingin kita melanjutkan apa yang sudah kita mulai."
Air mata menggenang di mata Lestari. Ia tahu Wira telah memilih jalan yang sulit, melawan arus demi cinta mereka.
"Kamu yakin?" bisik Lestari.