OLEH: Khoeri Abdul Muid
Hujan turun dengan deras, mengguyur kota yang sudah mulai gelap. Di dalam sebuah rumah tua yang remang-remang, Darto duduk di kursi kayu, tangan menggenggam segelas teh panas yang sudah hampir dingin. Wajahnya berkerut, penuh bekas luka hidup. Sudah lama ia menyendiri di rumah ini, jauh dari keramaian, jauh dari orang-orang yang dulu mengenalnya.
Beberapa tahun terakhir, Darto menghabiskan hari-harinya dalam kesunyian. Dunia luar tidak lagi membawanya kemana-mana, dan ia tidak peduli. Dunia yang ia tinggalkan adalah dunia yang penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Sebuah dunia yang membentuknya menjadi manusia yang keras dan penuh kepalsuan.
Namun, malam ini berbeda. Sebuah panggilan datang dari masa lalu yang tak bisa ia hindari. Wajah-wajah yang dulu ia lukai kembali muncul dalam ingatannya. Wajah istri yang ia tinggalkan begitu saja, wajah anaknya yang ia abaikan, dan wajah teman-teman yang ia khianati demi kepentingan diri sendiri. Darto merasa tercekik oleh penyesalan.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya, namun semakin dalam ia mencoba menghindar, semakin kuat suara-suara itu kembali menghantam pikirannya. Darto tidak bisa lagi menahan semuanya. Ia tahu, waktunya sudah dekat.
Beberapa tahun lalu, Darto adalah seorang pengusaha sukses yang disegani. Namun, kesuksesan itu datang dengan harga yang sangat mahal. Ia tidak pernah peduli siapa yang terluka, siapa yang harus dikorbankan, selama itu bisa memberi keuntungan bagi dirinya. Dalam perjalanan itu, ia kehilangan banyak hal yang berharga, termasuk orang-orang yang dulu mencintainya.
Saat itu, Darto tidak merasa ada yang salah. Ia berpikir, hidup ini adalah tentang bertahan, tentang siapa yang bisa bertahan lebih lama di dunia yang penuh persaingan. Tetapi semuanya berubah ketika istrinya, Winda, meninggalkan dirinya. Winda tidak sanggup lagi hidup dengan seorang suami yang lebih mementingkan bisnis daripada keluarga.
"Saya sudah cukup, Darto," kata Winda dengan suara lembut namun tegas. "Saya tidak bisa lagi bertahan dengan seorang pria yang tidak pernah melihat saya."
Kata-kata itu menghantui Darto. Tapi ia tidak merasa bersalah. Ia bahkan merasa lebih lega. Namun, kebahagiaan semu itu segera pudar. Seiring berjalannya waktu, ia merasakan kehampaan yang begitu dalam. Kemenangan yang diraihnya terasa kosong. Dunia yang penuh dengan keuntungan terasa semakin menjauh dari hati nuraninya.
Kini, di rumah tua itu, Darto memandang refleksinya di kaca. Usia yang semakin menua, tubuh yang semakin lemah, dan kehidupan yang hampir habis. Ia tahu, di ujung perjalanan hidupnya ini, ia tidak bisa lagi menghindar dari kenyataan yang selama ini ia lupakan.