"Toloooong! Ada cucuku di dalam!" teriak Bu Marni, matanya liar mencari bantuan.
Orang-orang hanya berdiri di luar, saling pandang dengan wajah pucat. Hingga tiba-tiba, dari kerumunan itu, Jarwo melangkah maju tanpa sepatah kata.
"Jarwo! Jangan masuk, bahaya!" teriak Pak Lurah.
Tapi Jarwo tak menggubris. Ia mengambil selimut basah dari salah satu warga dan menerobos api tanpa ragu.
Beberapa menit berlalu seperti seabad. Orang-orang menahan napas, takut akan apa yang mungkin terjadi. Namun akhirnya, Jarwo muncul kembali, menggendong cucu Bu Marni yang menangis keras, sementara Bu Marni memegangi bahunya dengan langkah tertatih.
"Jarwo..." suara Bu Marni pecah oleh tangis.
Tapi Jarwo hanya tersenyum kecil, menaruh cucu itu di pelukan neneknya, lalu berjalan pergi dengan wajah penuh jelaga.
Keesokan harinya, Jarwo menjadi buah bibir lagi. Tapi kali ini, nadanya berbeda.
"Luar biasa, ya, Jarwo itu. Meski pendiam, hatinya emas," kata Pak Darto.
"Coba kita semua seberani dia. Malu rasanya semalam cuma bisa menonton," sahut yang lain.
Namun, di tengah pujian yang melimpah, Jarwo tetap sama. Ia terus bekerja di bengkel kayunya, memahat patung tanpa berkata sepatah kata pun.