OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Semalam kamu pulang jam berapa, Pak?" suara Bu Tami lirih, penuh tanya.
Pak Suryo meletakkan tas kerjanya di meja. "Jam dua belas. Banyak laporan di kantor."
Bu Tami mendesah. "Aku tadi ke pasar, Bu Rini bilang lihat kamu di warung kopi. Sendiri. Kelihatannya bukan urusan kantor."
Pak Suryo terdiam. Matanya bergerak ke arah jendela, menghindari tatapan istrinya.
"Pak, aku nggak marah kalau kamu jujur," lanjut Bu Tami, nada suaranya menggetarkan udara seperti senar gitar yang dipetik dengan lembut.
Pak Suryo menarik napas panjang, menoleh perlahan. "Tami, kamu tahu nggak, berat rasanya ngurus semuanya sendirian. Aku lelah. Kadang aku cuma butuh waktu untuk... melupakan."
"Maka kamu memilih menghabiskan waktu melupakan aku juga?" suara Bu Tami meninggi, penuh luka.
Pak Suryo mendekat, menggenggam tangan istrinya yang mulai gemetar. "Aku nggak berniat menyakiti kamu, Tami. Tapi aku juga nggak tahu gimana caranya memperbaiki semua ini."
Keheningan panjang mengisi ruangan.
Dari balik tirai tipis, matahari sore menyorotkan sinar oranye yang redup. Mereka berdiri diam, seolah waktu berhenti.