"Sen, aku harus pergi," ucapnya dengan suara rendah.
Seno mendongak, bingung. "Ke mana?"
Bayu tersenyum tipis, seolah sudah mempersiapkan jawaban itu sejak lama. "Ke tempat yang harus kutemui, untuk sebuah alasan yang tak bisa kutunda lagi."
Seno terdiam, tak tahu harus berkata apa. Kata-kata Bayu itu datang begitu tiba-tiba, seperti hujan yang mengguyur tanpa aba-aba. Seno merasa seperti dunia berputar lebih lambat, jantungnya berdegup kencang, seperti ada sesuatu yang mencengkeram dirinya. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia ingin mencegahnya, tapi bagaimana caranya?
"Jadi, kamu akan pergi, Bayu?" tanya Seno dengan suara pecah, hampir tak bisa menahan air mata yang mendesak untuk jatuh.
Bayu hanya mengangguk pelan, menatap Seno dengan tatapan penuh makna. "Aku harus. Ini jalan hidupku, Sen. Kamu pun harus melangkah, dengan atau tanpa aku."
Seno menggigit bibirnya. Ia merasa seperti ada yang hilang dari dirinya. Seolah Bayu adalah bagian dari dirinya yang tak bisa ia lepaskan. Tapi, di saat yang sama, ia tahu Bayu benar. Ia terlalu lama terjebak dalam ketakutannya, takut pada perubahan, takut pada kenyataan.
"Jangan khawatir, Sen," kata Bayu lembut, menyentuh bahu Seno. "Kamu kuat. Lebih kuat dari yang kamu kira."
Bayu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu, meninggalkan Seno yang masih tercengang, menatap punggung Bayu yang semakin jauh. Sesaat kemudian, Bayu menghilang dalam kabut hujan, dan warung kopi yang sepi mendalam.
Seno duduk diam, air mata menetes tanpa ia sadari. Sesuatu yang berat menghimpit dadanya, tetapi seiring waktu, ia merasakan sedikit kelegaan. Di dalam dirinya, sebuah suara berbisik, mengingatkan tentang apa yang Bayu katakan. Bahwa keberanian bukan berarti tidak takut, tapi tentang menghadapi ketakutan itu dengan kepala tegak.
Malam itu, Seno pulang dengan langkah yang lebih berat dari biasanya, namun juga lebih pasti. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Bayu yang terus bergaung di dalam hatinya. Ketika ia membuka pintu rumah, ia mendapati ibunya sedang menunggu dengan senyum hangat. Ia mendekat dan memeluk ibunya erat-erat, merasakan sebuah kekuatan baru dalam dirinya.