OLEH: Khoeri Abdul Muid
Saat hujan turun di sore yang murung, Seno duduk termenung di sudut warung kopi. Kopinya sudah lama mendingin, namun ia masih memandang kosong ke luar jendela, seperti ada yang menghalangi pikirannya. Di depan meja, Bayu duduk dengan ceria, seperti biasa. Senyum itu yang selalu menenangkan Seno, membuatnya merasa seperti apa pun yang terjadi, dunia akan baik-baik saja.
"Tahu nggak, Sen?" tanya Bayu, memecah keheningan. "Kadang, kita harus berhenti bertanya kenapa, dan mulai menerima apa adanya."
Seno hanya menatap Bayu. Ternyata, ia sudah mulai merasakan perasaan itu. Sebuah ketakutan yang ia tak tahu dari mana datangnya. Ketakutan yang seperti menyelinap ke dalam jiwanya tanpa ia sadari. Ketakutan yang membuat dirinya tidak pernah bisa merasakan ketenangan meskipun dunia terlihat baik-baik saja.
"Kenapa begitu?" jawab Seno pelan, suara yang hampir tenggelam oleh suara rintikan hujan di luar.
Bayu tertawa kecil. "Karena kadang, kita mencari alasan pada semua yang terjadi, padahal jawaban itu ada di dalam diri kita. Kita cuma perlu berani menghadapinya."
Seno mengalihkan pandangannya ke jendela, seolah enggan menerima kenyataan. "Aku nggak bisa... aku takut, Bayu."
Bayu memandang Seno dengan tatapan penuh pengertian. "Takut itu wajar, Sen. Tapi, takut yang berlebihan itu bisa menghambat hidupmu. Orang yang berani bukanlah orang yang tidak merasa takut, tapi orang yang mampu menaklukkan ketakutannya."
Seno menggigit bibirnya. Kata-kata Bayu menancap dalam-dalam, menyentuh bagian jiwanya yang selama ini ia sembunyikan. Ia tahu ia takut---takut pada perubahan, takut akan kehilangan, takut gagal. Namun, ia tidak pernah benar-benar berani menghadapinya.
Keheningan kembali menyelimuti ruang warung kopi itu. Hujan yang semakin deras seakan menjadi teman bisu mereka. Namun, Seno merasa ada yang tidak beres. Perasaan cemas yang tiba-tiba muncul tak bisa ia pendam lebih lama. Lalu, Bayu menundukkan kepalanya, menghela napas panjang.