OLEH: Khoeri Abdul Muid
Senja jatuh perlahan di Desa Winarata. Warna jingga membias di atas persawahan, membawa ketenangan yang menipu. Di balai desa, ketegangan berkumpul. Pak Lurah Sastro duduk dengan pandangan tajam, sementara di hadapannya, Raka berdiri dengan kepala tertunduk.
"Kau tahu, Raka?" Pak Lurah memecah keheningan. "Satu kata bisa menyelamatkan seseorang, tapi satu kata juga bisa menghancurkan semuanya."
Raka menggigit bibirnya. Ia ingin berbicara, tapi rasa bersalah menahan lidahnya.
"Kemarin, warga ribut besar gara-gara desas-desus soal tanah bengkok. Kau tahu dari mana isu itu muncul?"
Raka mendongak, mencoba menahan tatapan Pak Lurah. "Saya hanya bercanda, Pak Lurah. Tidak ada niat buruk..."
"Canda?!" suara Pak Lurah meninggi. "Ilatmu itu, Raka, seperti pedang. Apa kau pikir warga yang sudah susah payah menjaga kerukunan bisa menerima candamu begitu saja?"
Raka terdiam, tapi hatinya penuh amarah. Selama ini, ia merasa selalu dipinggirkan oleh warga desa. Ia hanya ingin didengar.
"Pak Lurah, saya tidak bermaksud buruk. Saya hanya..."
"Hanya apa?" Pak Lurah memotong. "Kata-kata bukan satu-satunya masalahmu. Lihat ulatmu---roman mukamu yang seolah-olah tak bersalah. Tingkah lakumu? Ulahmu? Semua hanya memperburuk keadaan. Kau ingin diterima, tapi caramu merusak semua."
Raka menelan ludah. Ia tahu Pak Lurah benar, tapi egonya masih bertahan.