OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu, di sebuah sudut warung kopi kecil di Desa Banyurip, Anton duduk termenung. Kopinya yang sudah dingin tak ia sentuh. Di depannya, Rina, istrinya, sibuk menggulung lengan kemeja yang penuh noda saus karena tadi mereka sempat berdebat di dapur.
"Jadi, kamu maunya apa, Ton?" suara Rina memecah keheningan.
Anton mendongak, wajahnya penuh lelah. "Aku nggak ngerti, Rin. Kenapa kita terus-terusan begini? Apa mungkin kita nggak cocok?"
Rina terdiam sejenak. Pertanyaan itu seperti hantaman keras, meskipun ia sudah menduganya sejak lama. Setiap kali mereka berdebat---entah soal uang belanja, pekerjaan rumah, atau sekadar siapa yang harus bangun lebih dulu untuk mematikan alarm---Anton selalu mengeluarkan keluhan yang sama.
"Kita sudah sepuluh tahun menikah, Ton. Kalau dari dulu kamu cari yang cocok, kenapa kamu pilih aku?" Rina menatapnya, suaranya tenang namun mengandung luka.
Anton menghela napas panjang. Ia mengingat masa-masa awal mereka bersama. Saat itu, semuanya terasa indah. Rina adalah perempuan yang cerdas dan penuh semangat. Anton terpesona oleh caranya berbicara tentang mimpi-mimpi besar, meskipun ia tahu mereka hidup pas-pasan. Tapi seiring waktu, kenyataan mulai menghimpit. Tagihan, pekerjaan, dan perbedaan kecil yang dulu mereka abaikan kini menjadi jurang yang memisahkan.
"Aku pikir... kita akan saling melengkapi, Rin," Anton akhirnya menjawab. "Tapi sekarang aku merasa seperti dua keping puzzle yang salah tempat."
Rina tersenyum kecil. Senyum yang penuh kelelahan namun tidak kehilangan harapan. "Dengar, Ton. Puzzle itu nggak selalu cocok langsung. Kadang-kadang, kita perlu memutar, menyesuaikan sudutnya, supaya pas. Itu yang disebut usaha. Kalau kamu terus cari yang langsung cocok, kamu nggak akan pernah selesai menyusun gambarnya."
Malam di Tahun Pertama Pernikahan