Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mutiara Andhap Asor

21 November 2024   23:26 Diperbarui: 21 November 2024   23:52 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di kaki Gunung Lawu, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Wajahnya tampan, tubuhnya kuat, dan kepandaiannya tak diragukan. Namun, satu hal menghalanginya menjadi manusia sejati: keangkuhannya.

"Semua harus tunduk padaku," gumamnya suatu hari, menyeringai sambil menatap pantulan dirinya di aliran sungai kecil.

Sikap Raka membuat banyak orang enggan bergaul dengannya. Tapi ada satu orang yang percaya pada potensinya: Ki Jayeng, seorang pertapa bijaksana.

"Raka," panggil Ki Jayeng suatu pagi, "ikutlah denganku ke hutan. Ada pelajaran hidup yang harus kau pahami."

Raka mengernyitkan dahi, tetapi akhirnya setuju. Mereka berjalan menyusuri hutan, melewati rimbun pepohonan dan jalanan berliku. Hingga tiba-tiba Ki Jayeng berhenti di depan sebuah rawa berlumpur.

"Ambillah bunga teratai di tengah rawa itu," pinta Ki Jayeng.

Raka memandang lumpur itu dengan jijik. Namun, ia tak ingin terlihat lemah. Dengan sombong, ia melangkah masuk tanpa perhitungan. Seketika, kakinya terperosok, tubuhnya terbenam hingga pinggang.

"Ki! Tolong aku!" teriaknya panik.

Ki Jayeng hanya berdiri di pinggir rawa, tersenyum tipis. "Kau terburu-buru, Raka. Kadang untuk mencapai sesuatu, kita harus memahami jalan yang benar."

Dengan kesabaran, Ki Jayeng menolongnya keluar. "Sekarang lihat aku," katanya. Ki Jayeng mengambil ranting panjang dan berjalan perlahan di atas tepian yang keras, menggunakan ranting untuk menarik bunga teratai. Ia berhasil tanpa kotor sedikit pun.

"Dedalane guna lawan sekti kudu andhap asor," ujar Ki Jayeng, menatap Raka dalam-dalam. "Kerendahan hati adalah jalan menuju kebijaksanaan."

Raka terdiam, meresapi kata-kata itu.

Malamnya, mereka mendirikan kemah. Di bawah cahaya bulan, Ki Jayeng melanjutkan wejangan. "Berani mengalah akan ditinggikan di kemudian hari. Menunduklah jika dimarahi, walau kau merasa tak salah. Kadang, hanya dengan rendah hati, kita bisa melihat kebenaran yang tersembunyi."

Keesokan harinya, Raka berjalan pulang bersama Ki Jayeng. Namun kali ini, langkahnya lebih pelan. Ia mulai memahami arti menjadi manusia sejati bukanlah soal kekuatan atau kepandaian, melainkan soal menempatkan diri dengan bijak.

Bertahun-tahun kemudian, Raka menjadi pemimpin desa. Ia dikenal sebagai orang yang bijaksana, rendah hati, dan dicintai warganya. Orang-orang tak pernah tahu bahwa titik balik hidupnya adalah momen ketika ia terjebak di lumpur, belajar dari seorang pertapa tentang mutiara andhap asor.

Di setiap malam sebelum tidur, ia selalu mengingat nasihat itu: "Bapang den simpangi, ana catur mungkur."
Jalan hidup memang tak selalu lurus, tapi dengan kerendahan hati, ia menemukan cahaya yang menuntunnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun