Dengan kesabaran, Ki Jayeng menolongnya keluar. "Sekarang lihat aku," katanya. Ki Jayeng mengambil ranting panjang dan berjalan perlahan di atas tepian yang keras, menggunakan ranting untuk menarik bunga teratai. Ia berhasil tanpa kotor sedikit pun.
"Dedalane guna lawan sekti kudu andhap asor," ujar Ki Jayeng, menatap Raka dalam-dalam. "Kerendahan hati adalah jalan menuju kebijaksanaan."
Raka terdiam, meresapi kata-kata itu.
Malamnya, mereka mendirikan kemah. Di bawah cahaya bulan, Ki Jayeng melanjutkan wejangan. "Berani mengalah akan ditinggikan di kemudian hari. Menunduklah jika dimarahi, walau kau merasa tak salah. Kadang, hanya dengan rendah hati, kita bisa melihat kebenaran yang tersembunyi."
Keesokan harinya, Raka berjalan pulang bersama Ki Jayeng. Namun kali ini, langkahnya lebih pelan. Ia mulai memahami arti menjadi manusia sejati bukanlah soal kekuatan atau kepandaian, melainkan soal menempatkan diri dengan bijak.
Bertahun-tahun kemudian, Raka menjadi pemimpin desa. Ia dikenal sebagai orang yang bijaksana, rendah hati, dan dicintai warganya. Orang-orang tak pernah tahu bahwa titik balik hidupnya adalah momen ketika ia terjebak di lumpur, belajar dari seorang pertapa tentang mutiara andhap asor.
Di setiap malam sebelum tidur, ia selalu mengingat nasihat itu: "Bapang den simpangi, ana catur mungkur."
Jalan hidup memang tak selalu lurus, tapi dengan kerendahan hati, ia menemukan cahaya yang menuntunnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H