OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di kaki Gunung Lawu, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Wajahnya tampan, tubuhnya kuat, dan kepandaiannya tak diragukan. Namun, satu hal menghalanginya menjadi manusia sejati: keangkuhannya.
"Semua harus tunduk padaku," gumamnya suatu hari, menyeringai sambil menatap pantulan dirinya di aliran sungai kecil.
Sikap Raka membuat banyak orang enggan bergaul dengannya. Tapi ada satu orang yang percaya pada potensinya: Ki Jayeng, seorang pertapa bijaksana.
"Raka," panggil Ki Jayeng suatu pagi, "ikutlah denganku ke hutan. Ada pelajaran hidup yang harus kau pahami."
Raka mengernyitkan dahi, tetapi akhirnya setuju. Mereka berjalan menyusuri hutan, melewati rimbun pepohonan dan jalanan berliku. Hingga tiba-tiba Ki Jayeng berhenti di depan sebuah rawa berlumpur.
"Ambillah bunga teratai di tengah rawa itu," pinta Ki Jayeng.
Raka memandang lumpur itu dengan jijik. Namun, ia tak ingin terlihat lemah. Dengan sombong, ia melangkah masuk tanpa perhitungan. Seketika, kakinya terperosok, tubuhnya terbenam hingga pinggang.
"Ki! Tolong aku!" teriaknya panik.
Ki Jayeng hanya berdiri di pinggir rawa, tersenyum tipis. "Kau terburu-buru, Raka. Kadang untuk mencapai sesuatu, kita harus memahami jalan yang benar."