OLEH: Khoeri Abdul Muid
Soal nasib, meski bagai langit- bumi. Ponco dan Silo merupakan teman berkelindan. Teman sinorowedi. Teman securahan hati.
Berlatarbelakang yang lain. Pendidikan Ponco mandeg sampai jenjang SMA. Sementara Silo berkesempatan mengenyam ilmu di IKIP Yogyakarta hingga S-3.
Beruntung mereka bekerja dalam lingkungan yang sama. Silo meskipun masih muda sudah dipercaya menjadi asisten Bupati. Sementara Ponco, pasukan Satpol PP. Sehingga hampir saban hari pasca-bekerja. Ponco dan Silo mengistiqomahkan kebiasaan lama. Kongko-kongko. Ngopi-ngopi. Tapi no smoking.
Sebenarnya, saat di SD, rangking Ponco lebih baik dari Silo. Sehingga meski senjang taraf pendidikannya, tapi Ponco mampu mengimbangi Silo saat bergulat pikir dalam 'guyon maton' mereka.
Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka.
Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog "Nitizen_Bersatu".
Ponco dan Silo duduk di sebuah warung kopi sederhana, diapit suara jangkrik dari kejauhan dan aroma kopi hitam yang mengepul. Mereka berbagi cerita di bawah temaram lampu minyak.
Ponco: (tertawa kecil, menatap langit malam) "Silo, kau tahu nggak? Gus Dur itu memang beda kelas. Bayangkan, Raja Arab yang terkenal dingin dan jarang senyum saja dibuat tertawa terbahak-bahak olehnya."
Silo: (mengangkat alis penasaran, meletakkan cangkirnya) "Hah? Serius? Apa yang Gus Dur katakan sampai bisa bikin Raja Arab ngakak? Bukannya beliau terkenal serius?"