OLEH: Khoeri Abdul Muid
Dulu, ketika ponsel belum ada, SMS belum dikenal, apalagi WhatsApp, kehadiran Pak Pos adalah momen yang dinanti.
Lebaran semakin dekat, dan rumah-rumah di kampung itu selalu riuh dengan kebahagiaan sederhana: kartu-kartu lebaran dengan ucapan tangan.
Pak Arif, sang Pak Pos, menjadi sosok yang dielu-elukan. Pria berusia 50-an itu selalu mengayuh sepedanya dengan semangat, meski hujan atau terik menyengat. Ia mengenali setiap sudut desa, menghafal nama-nama penghuni rumah hingga anak-anak mereka. Tapi ada satu rumah yang selalu membuatnya resah. Rumah tua di ujung desa itu.
"Pak Arif, kenapa kartu lebaran dari rumah itu nggak pernah dibalas?" tanya Joko, anak kecil yang sering membantu Pak Arif mengangkat tumpukan surat.
Pak Arif hanya tersenyum kecil, tak pernah menjawab. Ia tahu, surat dari rumah tua itu selalu ditujukan untuk seseorang yang tak pernah membalas.
Hari itu, tiga hari menjelang Lebaran, Pak Arif menerima sebuah surat dengan perangko antik. Surat itu beralamatkan ke rumah tua tersebut, atas nama "Bu Sumiyati." Tangannya gemetar ketika membuka tasnya untuk menyimpan surat itu.
Mata Pak Arif berair. Ia tahu siapa pengirim surat itu: "Alfian," seorang pemuda yang dahulu tinggal di rumah itu sebelum ia pergi merantau ke kota besar.
Lima tahun lalu, surat-surat Alfian selalu datang tiap bulan, dengan cerita panjang tentang perjuangan hidupnya di kota. Tapi sejak dua tahun terakhir, surat itu tak pernah lagi ada. Hanya keheningan yang mengisi ruang harapan Bu Sumiyati. Hingga pagi itu.
Pak Arif mengayuh sepedanya menuju rumah tua itu. Perjalanan terasa lebih berat, seperti ada beban yang menahan langkahnya. Ia mengetuk pintu, dan Bu Sumiyati muncul dengan senyum lelah.