OLEH: Khoeri Abdul Muid
Sila pertama Pancasila, "Ketuhanan yang Maha Esa," mencerminkan nilai ketuhanan yang menjadi landasan kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Pancasila dikatakan digali dari kearifan lokal Indonesia, yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai agama dan budaya yang telah ada sejak lama.
Keberagaman kepercayaan yang berkembang di Indonesia memberikan bukti bahwa sila pertama Pancasila bukan hanya berasal dari ajaran agama besar, tetapi juga merupakan bagian dari kearifan lokal yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat.
- Keberagaman Agama dan Kepercayaan di Indonesia
Sebelum kedatangan agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, masyarakat Indonesia sudah memiliki berbagai kepercayaan lokal yang mengajarkan tentang ketuhanan, harmoni alam, dan penghormatan terhadap roh leluhur.Di Bali, misalnya, masyarakat Hindu meyakini adanya Tuhan yang Maha Esa melalui ajaran Tri Hita Karana, yang mengajarkan hubungan yang harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam. Di Toraja, meskipun mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen, kepercayaan animisme mereka masih hidup kuat, menunjukkan penghormatan yang dalam terhadap kekuatan Tuhan dan roh leluhur. Tradisi seperti ini menunjukkan bahwa nilai ketuhanan telah terpatri dalam budaya lokal sebelum pengaruh agama-agama besar datang ke Indonesia. - Gotong Royong dan Kerukunan Antarumat Beragama
Nilai gotong royong yang melekat dalam budaya Indonesia sangat erat kaitannya dengan sikap saling menghormati antarumat beragama. Di berbagai daerah, meskipun berbeda agama, masyarakat Indonesia sering kali bekerja sama dalam kegiatan keagamaan. Misalnya, di Yogyakarta, masyarakat yang terdiri dari beragam agama turut serta dalam perayaan agama lainnya, mencerminkan semangat toleransi yang sesuai dengan sila pertama Pancasila. Dalam budaya Jawa, prinsip gotong royong juga menekankan pentingnya hidup berdampingan dengan damai, menghargai perbedaan, dan bekerja sama untuk tujuan bersama. - Tradisi Keagamaan yang Memiliki Kearifan Lokal
Tradisi-tradisi keagamaan yang ada di Indonesia, seperti upacara Nyepi di Bali, mengajarkan nilai ketuhanan yang Maha Esa. Selama upacara ini, masyarakat Bali melakukan refleksi diri, menghormati Tuhan, serta menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Begitu pula di Sumatera Barat, dalam budaya Minangkabau yang kuat dengan tradisi adatnya, terdapat nilai-nilai ketuhanan yang mengajarkan keseimbangan antara spiritualitas dan kehidupan sosial. Kearifan lokal ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Indonesia sudah menginternalisasi nilai ketuhanan dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
4. Peran Tokoh Islam dalam Penyebaran Nilai Ketuhanan
Salah satu elemen penting dalam menghubungkan Pancasila dengan kearifan lokal adalah peran tokoh-tokoh Islam yang mengajarkan nilai ketuhanan yang Maha Esa, sekaligus menjembatani ajaran agama dengan budaya lokal yang sudah ada. Tokoh-tokoh Islam ini, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati, memainkan peran kunci dalam mengintegrasikan ajaran Islam dengan kearifan budaya Jawa dan Sunda.
- Sunan Kalijaga, misalnya, dikenal karena kemampuannya menggabungkan ajaran Islam dengan budaya lokal yang sudah ada di Jawa. Dalam dakwahnya, beliau menggunakan seni tradisional, seperti wayang kulit dan gamelan, untuk menyampaikan pesan-pesan ketuhanan yang Maha Esa. Sunan Kalijaga menekankan pentingnya kesucian hati dan kedekatan dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, yang sejalan dengan ajaran Pancasila tentang Ketuhanan yang Maha Esa. Beliau mengajarkan bahwa Tuhan adalah pusat kehidupan, dan hubungan manusia dengan Tuhan harus diikuti dengan penghormatan terhadap sesama.
- Sunan Ampel, di Surabaya, dikenal dengan pendekatan dakwah yang lebih inklusif, yang menerima dan menghormati keberagaman budaya lokal. Beliau juga mengajarkan bahwa nilai ketuhanan harus diwujudkan dalam kehidupan sosial yang harmonis, memperlihatkan pentingnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Sunan Ampel menjadi simbol penyatuan antara nilai ketuhanan dan budaya lokal yang ada di Jawa Timur.
- Sunan Gunung Jati, di Cirebon, juga memiliki pengaruh besar dalam mengajarkan Islam dengan pendekatan yang menghormati budaya dan kearifan lokal. Dengan mengajarkan konsep ketuhanan yang Maha Esa, beliau memadukan ajaran Islam dengan sistem nilai yang ada di masyarakat Cirebon, termasuk dalam bidang pemerintahan dan adat istiadat.
5. Tokoh-Tokoh Islam Lainnya yang Memperkuat Nilai Ketuhanan
Selain para Wali Songo, tokoh Islam lain seperti Syekh Ahmad Mutamakkin dari Pati, yang dikenal dengan ketokohannya dalam menyebarkan Islam di sepanjang pantai utara Jawa, juga berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai ketuhanan dalam masyarakat lokal. Syekh Ahmad Mutamakkin mengajarkan tentang ketuhanan yang Maha Esa melalui ajaran tasawuf, yang mengajarkan manusia untuk senantiasa mengingat Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.
Tokoh-tokoh seperti ini, yang mengintegrasikan ajaran agama dengan nilai-nilai kearifan lokal, turut memperkuat sila pertama Pancasila dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Dengan menyebarkan ajaran ketuhanan yang menghargai keberagaman dan mengedepankan prinsip hidup rukun, mereka membantu mengukuhkan prinsip Pancasila dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Kesimpulan
Sila pertama Pancasila, "Ketuhanan yang Maha Esa," adalah cerminan dari kearifan lokal yang sudah lama hidup dalam masyarakat Indonesia.
Nilai ketuhanan yang tercermin dalam budaya lokal, seperti toleransi antarumat beragama, gotong royong, dan penghormatan terhadap alam dan roh leluhur, sejalan dengan ajaran-ajaran agama yang berkembang di Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia mengakui dan mengakomodasi keragaman agama dan kepercayaan yang ada, sekaligus menjaga nilai-nilai ketuhanan yang telah menjadi bagian dari identitas budaya bangsa.