OLEH: Khoeri Abdul Muid
Sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru dilantik, Profesor Abdul Mu'ti menghadapi tantangan berat yang tak jauh berbeda dengan mendaki gunung tinggi yang terjal.
Kurikulum Merdeka, meski telah diterapkan secara luas, masih menemui banyak rintangan dalam perjalanan implementasinya.
Mu'ti, dengan kebijakan yang hati-hati dan penuh perhitungan, lebih memilih untuk berhati-hati dalam menentukan arah langkah kebijakan pendidikan berikutnya.
Seperti seorang pelaut yang memeriksa arah angin sebelum berlayar, ia memilih untuk tidak terburu-buru, dan mendedikasikan waktunya untuk menggali lebih dalam kondisi pendidikan di lapangan.
Pendekatan ini mencerminkan prinsip evaluasi kebijakan yang mengutamakan data dan feedback dari berbagai pihak, sebuah pendekatan yang dipopulerkan oleh Patton (2008).
Namun, medan yang dihadapi Mu'ti bukanlah medan yang sederhana. Sebagai contoh, di daerah-daerah terpencil, kebijakan Kurikulum Merdeka bertujuan untuk memberi lebih banyak kebebasan bagi guru dalam berinovasi dan mengadaptasi pembelajaran.
Sayangnya, implementasi di lapangan sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya. Di beberapa daerah terpencil, seperti yang dilaporkan di pedalaman Papua, guru-guru masih terjebak dalam cara mengajar tradisional karena terbatasnya pelatihan yang mereka terima.
Keadaan menjadi lebih sulit karena minimnya akses teknologi, yang seharusnya menjadi bagian integral dari Kurikulum Merdeka.
Di satu sekolah di Papua, misalnya, 70% siswa tidak dapat mengakses platform pendidikan digital karena masalah konektivitas internet. Hal ini menciptakan jurang pemisah yang lebar antara sekolah-sekolah kota besar dan daerah-daerah terisolasi (Wibowo, 2024).