OLEH: Khoeri Abdul Muid
Soal nasib. Meski bagai langit- bumi. Ponco dan Silo merupakan teman berkelindan. Teman sinorowedi. Teman securahan hati.
Berlatarbelakang yang lain. Pendidikan Ponco mandeg sampai jenjang SMA. Sementara Silo berkesempatan mengenyam ilmu di IKIP Yogyakarta hingga S-3.
Beruntung mereka bekerja dalam lingkungan yang sama. Silo meskipun masih muda sudah dipercaya menjadi asisten Bupati. Sementara Ponco, pasukan Satpol PP. Sehingga hampir saban hari pasca-bekerja. Ponco dan Silo mengistiqomahkan kebiasaan lama. Kongko-kongko. Ngopi-ngopi. Tapi no smoking.
Sebenarnya, saat di SD, rangking Ponco lebih baik dari Silo. Sehingga meski senjang taraf pendidikannya, tapi Ponco mampu mengimbangi Silo saat bergulat pikir dalam 'guyon maton' mereka.
Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka.
Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog "nitizen Bersatu".
[Ponco dan Silo sedang duduk berdiskusi di sebuah kedai kopi.]
Ponco:
Aku baca beberapa teori tentang keadilan sosial dan kesejahteraan pekerja. Menarik sekali bagaimana teori John Rawls menyatakan bahwa ketidaksetaraan hanya bisa diterima kalau itu menguntungkan mereka yang paling lemah. Apa itu artinya kita perlu terus mendorong kebijakan redistribusi kekayaan?
Silo:
Tepat sekali. Prinsip perbedaan dari Rawls memang menekankan bahwa ketidaksetaraan sosial harus memprioritaskan yang paling tidak beruntung. Contohnya, redistribusi kekayaan melalui kebijakan pajak progresif dan subsidi sosial adalah langkah konkret untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara merata.