OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Pahami, Le. Aksara itu pintu masa depan. Tanpa aksara, hidupmu tak lebih dari daun yang hanyut di sungai," kata Mbah Sastro, menatap cucunya dalam-dalam. Bening matanya tak lagi muda, tapi setiap kata yang keluar sarat dengan keyakinan dan pengharapan.
Andi terdiam. Hatinya memberontak, ingin mengatakan bahwa itu semua tak ada artinya. Ia mendengar cerita Mbah Sastro berulang kali, tentang betapa pentingnya belajar membaca, tapi ia tak pernah benar-benar memahami alasannya.
"Hanya aksara yang bisa menyelamatkan kita dari kebodohan, Le," Mbah Sastro berbisik dengan nada yang berat, tetapi lembut, seolah menyadari beban besar yang diembannya. "Kemerdekaan ini, baru bisa kita rasakan sepenuhnya kalau kita paham apa artinya. Dan, itu hanya bisa dicapai kalau kita melek aksara."
Namun Andi tak bisa sepenuhnya setuju. Ayahnya bekerja keras dari subuh hingga senja, tanpa sedikit pun paham aksara, tetapi mereka bisa makan. Bukankah itu sudah cukup? Bukankah hidup hanya soal bertahan?
Suatu malam, Mbah Sastro menyeret Andi ke surau kecil di ujung desa. Di sana, sebuah meja tua dengan lampu minyak menyala redup, dan di atasnya, lembaran-lembaran kertas yang penuh dengan tulisan tangan Mbah Sastro.
"Ini... ini terakhir, Le," ucap Mbah Sastro, suaranya bergetar.
Andi terkejut melihat tangan kakeknya yang gemetar saat mengusap kertas-kertas itu. Di antara kertas-kertas tersebut, terlihat tulisan yang indah, meski tak semuanya Andi mengerti.
"Baca, Le..." perintah Mbah Sastro.
"A-aksara...?" Andi mengernyitkan dahi, menatap huruf demi huruf yang berserak. Dia terbata-bata, berusaha mengeja, merasakan huruf-huruf itu bergema asing di lidahnya.