OLEH: Khoeri Abdul Muid
Seorang wanita tua dengan selendang berwarna biru pudar menyelip di antara jalanan sempit Semarang yang sibuk. Namanya Bolang. Sejatinya, nama aslinya tak diketahui banyak orang, tapi ia dikenal sebagai Bolang, atau Simbok yang melanglang.
Tak ada satu pun tempat yang belum pernah ia pijak, dari pasar-pasar, pelosok kampung, hingga perbatasan kota. Dulu ia dikenal tangguh, melanglang buana tanpa lelah.
"Sarapan di mana, Bolang? Aku sudah lapar!" Tanya Siti, teman dekatnya yang baru bertemu lagi setelah sekian lama.
"Sumber Asli, Ci Petey. Pesenan aku sudah jelas," jawab Bolang sambil tertawa kecil, matanya menyipit karena penuaan namun bercahaya penuh semangat.
Pagi itu, mereka menuju sebuah restoran tua di daerah Semarang yang terkenal dengan hidangan Nusantara tempo dulu. Resto Sumber Asli Ci Petey. Makanan yang tersedia seperti harta karun yang mengumpulkan kuliner dari pelosok Nusantara. Ada soto betawi, rawon dari Jawa Timur, sate lilit Bali, coto Makassar, dan puluhan hidangan lain.
Namun, Bolang malah memilih sambel tumpang -- makanan yang sehari-hari bisa ia temukan di kota tinggalnya sendiri. Ada tahu, lunpia isi bihun, mie godhog, tempe terik, semua diambilnya dengan tenang, lalu ditambah wedang 'darah encer'. Wedang khas dengan ketumbar, jahe, dan kayu manis. "Biar darahku ngencer, biar jalan lagi terus ke mana-mana," canda Bolang sambil menyeruput wedangnya dengan tenang.
Sejenak, memori masa lalu menyeruak dalam ingatan Bolang. Siang itu, di tengah perbincangan yang ramai, ia tiba-tiba terdiam.
"Bolang, ndak apa? Kok diam aja?" Siti menepuk punggungnya.
"Nggak papa, Ning. Cuma mikir cucu-cucuku." Wajahnya mendadak terlihat tua.