"Bu Retno, ada panggilan dari kampus," kata salah satu asisten yang tergopoh-gopoh masuk. "Mereka bilang, kita harus segera kirim foto bersama Kepala Departemen sebagai syarat tambahan bagi izin KKL ke Bali."
"Lagi? Mereka sudah punya semua berkas dan fotonya!" keluh Bu Retno, mencoba untuk tetap tenang.
Dr. Anita tersenyum lelah. "Birokrasi memang begitu. Ini hanya tambahan, tapi tanpa foto itu, izin mereka bisa ditolak, bukan?"
Bu Retno terpaksa setuju, dan bersama para mahasiswa, mereka mencari waktu jeda untuk foto bersama di tengah diskusi. Selesai dengan semua itu, ia merasakan lelah yang menumpuk. Ia hanya ingin pulang dan mengistirahatkan pikiran.
Saat diskusi selesai dan izin untuk KKL terkirim, Bu Retno menarik napas lega. Namun, beban di pundaknya belum sepenuhnya hilang.
Di akhir acara, Bu Retno berpapasan dengan Mbak Rani, teman lamanya. "Bu Retno, kelihatannya lelah sekali," ujar Mbak Rani, tersenyum prihatin. "Apakah semua ini sepadan?"
Pertanyaan itu membuat Bu Retno tersentak. "Aku tak tahu, Mbak Rani. Kadang aku berpikir, apakah setiap hari ini benar-benar hari terbaik... atau kita hanya mencoba bertahan di dalamnya?"
Mbak Rani tersenyum penuh arti, dan mengangguk. "Mungkin keduanya, Bu Retno."
Di perjalanan pulang, Bu Retno merenung dalam diam. Hari itu memang terasa sulit, tapi ia tahu bahwa di balik segala keraguan dan masalah, ada nilai yang ia pegang teguh: untuk terus berusaha, sebaik mungkin, meski terkadang hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H