OLEH: Khoeri Abdul Muid
Kurikulum Merdeka yang diterapkan dalam sistem pendidikan Indonesia bertujuan mengembangkan kemampuan siswa melalui pendekatan berbasis proyek dan kompetensi. Meskipun memiliki visi yang progresif, implementasi Kurikulum Merdeka ternyata menghadapi sejumlah tantangan serius. Ketidaksiapan guru, ketimpangan fasilitas pendidikan, dan hasil ujian internasional seperti PISA dan TIMSS yang tidak menunjukkan perbaikan signifikan memperlihatkan kelemahan mendasar dalam konsep dan pelaksanaannya.
1. Data Hasil PISA dan TIMSS sebagai Indikator Kinerja Pendidikan Nasional
- PISA (Programme for International Student Assessment): Dalam laporan terakhir, skor rata-rata Indonesia untuk literasi, matematika, dan sains berada di bawah rata-rata negara-negara OECD. Pada 2018, Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara yang diuji dalam kemampuan membaca, dan peringkat 73 untuk matematika. Hasil ini mengindikasikan bahwa pembelajaran yang saat ini diterapkan dalam Kurikulum Merdeka belum mampu memperbaiki kemampuan dasar siswa, terutama dalam literasi dan numerasi.
- TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study): Pada 2019, Indonesia berada pada peringkat ke-45 dari 58 negara untuk matematika dan peringkat ke-49 untuk sains di tingkat kelas 8. Rendahnya skor ini menunjukkan lemahnya penguasaan dasar matematika dan sains siswa Indonesia, yang penting untuk kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.
- Kaitan dengan Kurikulum: Penurunan atau stagnasi skor PISA dan TIMSS dapat mengindikasikan bahwa reformasi kurikulum yang diterapkan, termasuk Kurikulum Merdeka, belum berhasil memperbaiki kinerja siswa secara signifikan. Kurikulum yang lebih berstandar internasional dapat memberikan kerangka kerja yang lebih jelas untuk peningkatan kualitas ini.
2. Teori Pendidikan tentang Peran Guru dalam Manajemen Kelas
- Teori Kognitif Vygotsky tentang Zona Perkembangan Proksimal: Menurut Vygotsky, bimbingan guru berperan penting dalam mendorong siswa mencapai potensi mereka. Kurikulum Merdeka, yang mendorong kebebasan belajar, perlu didukung oleh kemampuan guru dalam membimbing dan mengarahkan siswa sesuai dengan Zona Perkembangan Proksimal mereka agar siswa tidak merasa terlalu bebas hingga kehilangan arah dalam belajar.
- Model Pengelolaan Kelas oleh Emmer & Evertson: Menurut penelitian ini, efektivitas pengelolaan kelas sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam menjaga ketertiban dan disiplin, yang penting dalam penerapan kurikulum apapun. Ketidaksiapan guru dalam mengelola kelas secara efektif bisa mengakibatkan masalah disiplin dan perlawanan dari siswa, khususnya ketika siswa salah memahami konsep kebebasan.
3. Faktor Sosio-ekonomi dan Infrastruktur Pendidikan
- Data Ketimpangan Fasilitas Pendidikan di Indonesia: Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat ketimpangan besar dalam akses pendidikan berkualitas antara daerah perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 2020, misalnya, sekitar 60% sekolah di daerah terpencil belum memiliki akses internet stabil, yang penting untuk mendukung pembelajaran berbasis proyek dalam Kurikulum Merdeka.
- Teori Ekuitas Pendidikan (James Coleman): Menurut Coleman, ketersediaan fasilitas dan dukungan ekonomi yang setara sangat penting untuk memastikan bahwa siswa dari berbagai latar belakang memiliki kesempatan belajar yang sama. Ketidakseimbangan dalam infrastruktur dapat menyebabkan siswa di daerah terpencil mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
4. Pentingnya Standarisasi dalam Sistem Penilaian
- Bloom's Taxonomy sebagai Dasar untuk Penilaian Berbasis Kompetensi: Pendekatan berbasis kompetensi dalam penilaian menekankan pada pemahaman konseptual dan aplikasi, bukan hanya hafalan. Kurikulum baru dapat menerapkan standar rubrik berbasis taksonomi Bloom untuk memastikan bahwa setiap siswa dinilai secara obyektif dan konsisten. Ini penting untuk menilai capaian pembelajaran yang terstandar secara nasional.
- Teori Belajar Konstruktivis: Menurut teori konstruktivis yang dikemukakan oleh Piaget dan Bruner, siswa perlu didorong untuk memahami konsep melalui pengalaman langsung. Dalam kurikulum baru, penting untuk memastikan bahwa penilaian yang dilakukan tidak hanya menekankan hasil, tetapi juga proses belajar siswa sebagai bentuk pengembangan berpikir kritis dan analitis mereka.
5. Pendidikan Karakter dalam Membangun Disiplin dan Tanggung Jawab
- Teori Pendidikan Karakter oleh Thomas Lickona: Lickona menekankan bahwa pendidikan karakter harus menyertakan pembiasaan nilai-nilai disiplin, hormat, dan tanggung jawab untuk membentuk sikap dan perilaku siswa. Kurikulum baru perlu menerapkan model pendidikan karakter yang lebih terarah dan praktis sehingga nilai-nilai ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan siswa.
- Kebijakan Pendidikan Karakter Nasional: Indonesia memiliki kebijakan untuk memperkuat pendidikan karakter, namun dalam Kurikulum Merdeka, pendekatan ini cenderung belum terstruktur dan kurang efektif dalam membangun kedisiplinan siswa. Diperlukan kebijakan yang lebih terarah untuk membentuk sikap belajar yang disiplin, yang selaras dengan prinsip Pancasila.
6. Kegagalan Program Guru Penggerak
Program Guru Penggerak dirancang untuk menciptakan inovasi dalam pendidikan Indonesia, namun pelaksanaannya seringkali menghadapi berbagai tantangan yang menyebabkan kegagalan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Berikut ini adalah analisis yang menyertakan data dan teori yang mendasari kegagalan program tersebut:
- Tingkat Kesiapan Guru: Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) pada tahun 2023, sekitar 60% guru Penggerak merasa kurang siap untuk menerapkan pendekatan kurikulum baru di kelas. Hanya 20% yang merasa mampu melakukan perubahan signifikan dalam proses belajar mengajar (https://bbpmpjatim.kemdikbud.go.id/). Data ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pelatihan yang diberikan dan kesiapan guru untuk menerapkannya.
- Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran: Riset dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa di sekolah-sekolah yang menerapkan program Guru Penggerak, partisipasi siswa dalam pembelajaran aktif hanya meningkat sekitar 15% dibandingkan dengan sekolah yang tidak menerapkan program ini. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menciptakan inovasi, dampaknya terhadap siswa tidak cukup signifikan.
- Tingkat Retensi Guru: Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir, tingkat pengunduran diri guru Penggerak meningkat hingga 25%. Hal ini diakibatkan oleh tekanan dan ekspektasi yang tinggi tanpa adanya dukungan yang memadai, menciptakan stres yang berlebihan dan memicu keputusan untuk meninggalkan profesi.
- Teori Keterlibatan Guru (Teacher Engagement Theory): Menurut penelitian oleh Hargreaves dan Fullan (2012), keterlibatan guru sangat dipengaruhi oleh dukungan profesional yang mereka terima. Dalam konteks Guru Penggerak, kurangnya dukungan berkelanjutan dan pembimbingan setelah pelatihan menyebabkan rendahnya keterlibatan dan motivasi guru untuk menerapkan perubahan yang diperlukan dalam praktik mengajar mereka.
- Teori Perubahan oleh Kotter: Kotter (1996) mengemukakan delapan langkah yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan perubahan yang efektif. Dalam program Guru Penggerak, beberapa langkah krusial, seperti menciptakan rasa urgensi dan membangun tim yang efektif untuk memimpin perubahan, tidak dilaksanakan dengan baik. Ketidakmampuan untuk mengikuti langkah-langkah ini mengakibatkan program tidak mampu beradaptasi dengan kebutuhan nyata di lapangan.
- Teori Dukungan Sosial (Social Support Theory): Penelitian oleh Cohen dan Wills (1985) menunjukkan bahwa dukungan sosial yang kuat dapat meningkatkan ketahanan individu terhadap stres. Di banyak sekolah, dukungan untuk Guru Penggerak dari rekan sejawat dan manajemen seringkali lemah, yang berdampak pada ketidakmampuan mereka untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam proses pembelajaran.
Kesimpulan