OLEH: Khoeri Abdul Muid
Rencana pemerintah untuk mengalihkan subsidi energi ke Bantuan Langsung Tunai (BLT) bertujuan agar bantuan lebih tepat sasaran, menyasar masyarakat miskin secara langsung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sekitar 9,54% dari populasi Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu, menurut Kementerian Keuangan, banyak dari mereka tidak menikmati subsidi BBM karena distribusinya tidak merata, dan seringkali justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang lebih mampu. Namun, meskipun BLT berpotensi meningkatkan efektivitas bantuan, kebijakan ini memicu kekhawatiran baru.
Penghapusan subsidi BBM, yang selama ini menjadi penopang daya beli masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah, dapat berdampak luas pada stabilitas ekonomi kelas pekerja. Inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM akan memengaruhi harga bahan pokok dan layanan transportasi, yang pada akhirnya menekan daya beli kelompok masyarakat rentan, khususnya pekerja formal dengan gaji pas-pasan.
Secara teori, subsidi energi umum memiliki dua fungsi utama: menekan biaya hidup dan menjaga daya beli masyarakat. Menurut teori ekonomi Keynesian, subsidi jenis ini mengurangi biaya dasar secara langsung, yang memungkinkan rumah tangga untuk mengalokasikan penghasilan mereka pada kebutuhan lain, sehingga menjaga kesejahteraan secara makroekonomi.
Subsidi energi juga berfungsi sebagai buffer atau penyangga ekonomi untuk menjaga stabilitas harga ketika terjadi fluktuasi biaya energi global. Dengan adanya subsidi ini, inflasi dapat diredam dan efeknya tidak langsung berimbas pada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Namun, subsidi yang bersifat menyeluruh memang tidak sepenuhnya efisien karena cenderung dinikmati oleh kelompok berpenghasilan tinggi juga.
Dengan demikian, teori targeted welfare mengusulkan agar subsidi diarahkan langsung kepada mereka yang sangat membutuhkan, melalui program seperti BLT.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa konsumsi BBM bersubsidi mencapai hampir 40% dari total kebutuhan BBM nasional. Subsidi ini selama bertahun-tahun menekan harga bahan bakar di dalam negeri.
Menghapus subsidi ini akan meningkatkan harga barang kebutuhan pokok secara menyeluruh, yang diperkirakan berdampak pada kenaikan inflasi hingga 3--5% dalam beberapa bulan pertama.