Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keheningan di Balik Asap Bandrek

29 Oktober 2024   20:08 Diperbarui: 29 Oktober 2024   20:10 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandrek (Foto: Getty Images/iStockphoto/ALEKSEI BEZRUKOV)

"Pak, ada yang mau saya sampaikan," bisiknya panik.

Pak Karta melirik putrinya, lalu kembali menatap pria di depannya. Ada yang mengganjal di hatinya, seolah-olah malam ini adalah malam terakhir mereka. "Apa yang terjadi, Nak?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Anaknya menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan, "Ada kabar, Pak. Beberapa kedai tradisional di kota telah diancam dan dihancurkan. Mereka ingin menghapuskan semua jejak minuman ini... minuman yang katanya tak layak lagi dipertahankan." Matanya menatap pria itu tajam, seolah-olah dia menyiratkan bahwa sang kritikus tahu lebih banyak dari yang dikatakan.

Hening menyelimuti kedai. Pak Karta merasakan dadanya berdegup kencang, sementara pria itu hanya duduk diam, sorot matanya berubah menjadi muram.

"Jadi, minuman ini begitu tidak berarti sampai harus dihapuskan, begitu?" ucap Pak Karta dengan suara bergetar. Tapi, dalam hati ia tahu, pertanyaan itu lebih ditujukan untuk pria di depannya.

Sang kritikus akhirnya mengangkat kepalanya, sorot matanya tajam dan penuh dilema. "Kadang, hal yang kita sebut tradisi hanya penghalang. Di kota besar, orang mencari rasa yang berbeda, tidak yang seperti ini, yang terlalu mengingatkan pada kehidupan yang dingin dan keras." Suaranya terdengar berbisik, hampir tidak terdengar.

Pak Karta menatap pria itu tanpa berkedip, wajahnya seolah membeku. Di kejauhan, suara derap langkah terdengar mendekat, mengancam, memecah keheningan malam.

Saat itu, pria kritikus itu berdiri, wajahnya menunduk. "Mungkin... ini bukan tentang buruk atau tidaknya minuman ini. Mungkin ada lebih dari sekadar rasa di balik semua ini," katanya sebelum melangkah keluar dari kedai.

Pak Karta hanya bisa memandang pria itu menjauh dalam diam, sambil mencengkeram cangkir bandrek yang hangat dalam genggamannya. Suara langkah-langkah itu semakin mendekat, dan di saat itulah, Pak Karta merasa ada sesuatu yang akan berubah untuk selamanya---entah baik, entah buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun