OLEH: Khoeri Abdul Muid
Mengawali artikel ini, penulis ingin mengirim ucapan selamat datang kepada yang mulia cahaya terang Pendidikan Indonesia: Bapak Prof. Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Bapak Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Bapak Dr. Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan.
Bahwa pada awalnya, Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai langkah inovatif untuk menjadikan pendidikan Indonesia lebih fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan zaman, dengan memberikan keleluasaan bagi guru dan sekolah dalam menentukan metode pembelajaran.
Meskipun kesan kulitnya progresif, sejumlah permasalahan fundamental dan dampak negatif yang mendalam justru membuat kebijakan ini layak ditinjau ulang, atau bahkan dihentikan.
Berikut beberapa alasan utama mengapa Kurikulum Merdeka perlu dievaluasi serius.
- Efektivitas yang Tidak Terbukti Secara Signifikan
Kurikulum Merdeka dipuji karena dianggap meningkatkan skor siswa, seperti data UTBK 2024 yang menunjukkan kenaikan skor bagi siswa SMK yang mengikuti kurikulum ini dibandingkan dengan Kurikulum 2013.
Namun, peningkatan skor tersebut tipis dan tidak cukup signifikan untuk menyimpulkan bahwa Kurikulum Merdeka berdampak substantif pada kualitas akademik siswa.
Meskipun ada peningkatan skor UTBK, data ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan keberhasilan kurikulum secara keseluruhan.
Jika tidak ada perbedaan hasil yang nyata, apakah layak meneruskan kurikulum ini? Belum lagi bagaimana dengan keadaan di PT, SMA, SMP, MTs, SD, MI, dengan segala variasinya, kota-desa, negeri-swasta, dsb.
Dalam kajian efektivitas kurikulum, data peningkatan akademik harus diuji secara longitudinal untuk melihat dampak berkelanjutan terhadap pembelajaran siswa.
Menurut teori evaluasi program pendidikan oleh Scriven (1991), perubahan kurikulum harus diukur dengan memperhatikan berbagai variabel, seperti keterlibatan siswa, metode pembelajaran, dan perbaikan kemampuan literasi serta numerasi.