Pendidikan guru yang berkualitas, serta pelatihan berkelanjutan, harus menjadi fokus utama. Tanpa dukungan yang memadai bagi guru, gagasan ini bisa berakhir sebagai wacana tanpa tindakan nyata.
Selain itu, ada juga pertanyaan tentang bagaimana generasi muda kita akan beradaptasi dengan pendidikan yang sepenuhnya berbasis digital.Â
Siswa yang lebih muda, terutama di jenjang SD, mungkin belum siap secara emosional dan kognitif untuk sepenuhnya mengandalkan perangkat elektronik.Â
Kita harus berhati-hati untuk tidak mengabaikan kebutuhan dasar mereka dalam belajar, seperti kemampuan menulis dan berinteraksi secara langsung.
Terakhir, penting untuk mempertimbangkan dampak kesehatan dari penggunaan perangkat digital yang berlebihan, terutama di kalangan anak-anak.Â
Paparan radiasi dari perangkat elektronik dan pengaruh terhadap kesehatan mata menjadi isu yang harus kita perhatikan dalam mengimplementasikan sekolah tanpa kertas.
Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif. Pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung gagasan sekolah tanpa kertas.Â
Kita perlu merancang pilot project yang realistis, dimulai dari sekolah-sekolah di kota besar yang memiliki infrastruktur memadai, sebelum meluas ke daerah lain.
Sebagai penutup, gagasan sekolah tanpa kertas yang diusulkan oleh BJ Habibie adalah langkah ke arah masa depan pendidikan yang lebih inovatif dan berkelanjutan.Â
Namun, untuk mencapainya, kita harus siap menghadapi tantangan yang ada dan berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap anak di Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas, baik di dunia digital maupun di dunia nyata.Â
Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat menjadikan sekolah tanpa kertas sebagai kenyataan yang bermanfaat bagi generasi mendatang.