OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah politik non-blok masih relevan di era multipolar ini?Â
Pertanyaan ini menggantung di benak banyak pengamat ketika melihat langkah terbaru Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Rencana untuk menunjuk utusan khusus menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Kazan, Rusia, tidak hanya menjadi sebuah langkah diplomatik, tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang identitas politik Indonesia di pentas global.
BRICS, sebuah blok yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, telah menciptakan momentum baru dalam arsitektur ekonomi dan politik dunia. Sejak diundang untuk bergabung pada KTT ke-15 di Johannesburg, Indonesia kini dihadapkan pada pilihan strategis yang mencerminkan filosofi politik non-bloknya.Â
Dalam konteks ini, keputusan Prabowo untuk menunjuk utusan khusus, alih-alih hadir secara langsung, menunjukkan sikap hati-hati dan pragmatis. Hal ini mencerminkan kesadaran akan kebutuhan untuk menjaga stabilitas domestik sekaligus merespons dinamika global.
Melihat dari perspektif hukum dan teori politik, langkah ini juga mencerminkan pengakuan terhadap tantangan dan keuntungan ekonomi yang mungkin diperoleh. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menekankan bahwa keputusan untuk bergabung dengan BRICS tidak semata-mata berlandaskan pada niat, tetapi harus dilandasi dengan analisis manfaat ekonomi yang nyata. Ini adalah pendekatan rasional yang selaras dengan filsafat pragmatisme, di mana hasil yang bermanfaat harus diutamakan dalam setiap keputusan politik.
Namun, di balik keputusan pragmatis ini, terdapat tantangan filosofis yang lebih dalam. Apakah bergabung dengan BRICS akan menggeser posisi Indonesia dari semangat politik non-blok yang selama ini diusung? Dalam konteks global yang semakin kompleks, dengan ketegangan antara kekuatan besar, Indonesia harus mampu menavigasi identitasnya tanpa kehilangan prinsip dasar yang menjadi landasan politik luar negerinya.
Seiring dengan pelantikan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober, penunjukan utusan khusus menjadi langkah strategis yang bisa membentuk citra Indonesia di mata dunia. Apakah ini adalah awal dari babak baru bagi Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam forum global sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip non-blok? Dengan melihat ke depan, harapan akan terciptanya keseimbangan antara kepentingan domestik dan global menjadi semakin penting.
Dalam kerangka teori politik, keputusan ini mencerminkan pendekatan yang lebih luas, di mana negara-negara berkembang mencari jalur independen dalam menghadapi dominasi kekuatan besar. BRICS, dengan segala potensinya, memberikan ruang bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya sebagai pemimpin di kawasan, sekaligus membuka peluang ekonomi yang lebih besar. Ini adalah tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi Indonesia dengan bijaksana.
Kesimpulannya, saat Indonesia bersiap untuk menghadiri KTT BRICS, pertanyaannya tidak hanya berkisar pada keputusan untuk bergabung atau tidak. Melainkan, lebih pada bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan momen ini untuk memperkuat identitas politik non-bloknya di tengah dinamika global yang terus berubah.Â