OLEH: Khoeri Abdul Muid
Spekulasi mengenai susunan kabinet Prabowo Subianto semakin berkembang, terutama setelah pernyataan Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, yang mengindikasikan kemungkinan adanya kader PDIP dalam pemerintahan mendatang. Isu ini bukan hanya menarik dari perspektif politik praktis, tetapi juga dapat dianalisis menggunakan beberapa teori politik yang relevan, seperti power-sharing, government coalition theory, dan political stability theory.
Keterlibatan PDIP dalam Kabinet Prabowo: Analisis Power-Sharing
Teori power-sharing menyatakan bahwa dalam sistem demokrasi yang plural, kekuatan politik cenderung dibagi di antara berbagai kelompok untuk mencegah dominasi satu pihak dan mengurangi potensi konflik. Prabowo, jika benar melibatkan PDIP dalam kabinetnya, dapat dilihat berupaya menerapkan prinsip ini. Sebagai pemenang Pemilu 2019, PDIP memiliki basis massa yang signifikan, sehingga merangkulnya ke dalam kabinet Prabowo bukan hanya langkah strategis, tetapi juga upaya memperkuat legitimasi politik.
Menurut Lijphart (1999), power-sharing dalam demokrasi konsosiasional biasanya diterapkan untuk menjaga stabilitas politik di negara dengan berbagai kelompok politik atau etnis yang kuat. Dalam konteks Indonesia, koalisi dengan PDIP bisa menjadi sarana Prabowo untuk menghindari fragmentasi politik dan memastikan dukungan dari kelompok yang lebih luas, termasuk simpatisan PDIP yang mendukung pemerintahan Jokowi selama dua periode terakhir.
Teori Koalisi Pemerintahan: Government Coalition Theory
Dalam membentuk kabinet, teori koalisi pemerintahan (Riker, 1962) menjadi sangat relevan. Riker menyatakan bahwa partai-partai politik membentuk koalisi untuk memaksimalkan keuntungan dan kekuatan politik. Pemerintahan yang stabil cenderung terbentuk dari koalisi besar, yang mencakup berbagai partai dengan kepentingan yang beragam, demi mengamankan dukungan mayoritas di parlemen.
Dalam konteks ini, keterlibatan PDIP dalam kabinet Prabowo dapat dilihat sebagai langkah untuk membentuk "koalisi besar" yang mampu mempertahankan stabilitas politik dan memastikan kelancaran implementasi kebijakan pemerintah. Prabowo tampaknya menyadari bahwa pemerintahan minoritas akan sulit bertahan, sehingga upaya menggandeng PDIP menjadi bagian dari strategi koalisi untuk memperkuat posisinya di parlemen dan menjaga kontinuitas kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Selain itu, Niskanen (1994) dalam Bureaucracy and Representative Government juga menjelaskan bahwa dengan melibatkan partai yang kuat seperti PDIP dalam kabinet, Prabowo dapat mengurangi resistensi politik dan birokrasi dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya.
Kesinambungan Kebijakan: Political Stability Theory