Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tradisi Penyambutan Presiden di Istana, Refleksi Filosofis dan Politik Kekuasaan

11 Oktober 2024   03:57 Diperbarui: 11 Oktober 2024   07:42 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apa arti sesungguhnya dari sebuah tradisi penyambutan di Istana Merdeka? Apakah itu sekadar seremonial formal yang dibalut tata upacara militer, atau lebih dari itu---sebuah perwujudan simbolis tentang esensi kekuasaan dan kontinuitas negara?

Di balik ritual penyambutan presiden baru, yang dimulai oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dilanjutkan oleh Joko Widodo (Jokowi), tersimpan refleksi mendalam tentang filsafat politik. Pergantian pemimpin dalam sebuah negara demokratis adalah momen di mana kekuasaan, yang seringkali dianggap absolut atau personal, justru terbukti sebagai entitas yang lebih besar daripada individu-individu yang memegangnya. Negara hadir sebagai entitas yang memiliki "jiwa" sendiri, yang mampu bertahan dari waktu ke waktu, sementara para pemimpinnya datang dan pergi.

Filsuf Thomas Hobbes pernah berargumen dalam Leviathan bahwa negara adalah manifestasi dari kehendak kolektif rakyat, sebuah "badan politik" yang bersifat abadi. Dalam konteks ini, tradisi penyambutan presiden baru bukan hanya soal serah terima kekuasaan, melainkan sebuah penegasan bahwa negara adalah lembaga yang terus berjalan, tak terhentikan oleh perubahan personalia. Di saat yang sama, pergantian presiden ini juga merupakan ekspresi dari kesadaran akan transisi yang damai, di mana rivalitas politik tak berakhir dengan kekerasan atau ketidakstabilan, melainkan dengan harmoni dan penghormatan.

Dalam perspektif hukum, upacara penyambutan ini dapat dibaca sebagai cerminan dari rule of law---hukum di atas segalanya. Presiden, terlepas dari siapa pun dia, tunduk pada aturan dan konstitusi yang sama. Momen penyambutan ini adalah pernyataan bahwa jabatan presiden bukanlah milik individu, melainkan amanah yang diberikan oleh rakyat, dan harus diserahkan ketika waktunya tiba. Di sini, terwujud legitimacy of power, di mana kekuasaan hanya sah apabila diberikan oleh rakyat melalui mekanisme konstitusional.

Dari perspektif politik, ini menyoroti pemahaman yang lebih luas tentang transisi kepemimpinan. Dalam tradisi penyambutan yang kini diwariskan, terdapat pembelajaran penting bagi demokrasi Indonesia. Ini menunjukkan bahwa perbedaan politik, meskipun tajam selama masa kampanye, dapat direkonsiliasi dalam semangat kebangsaan. SBY, dalam menciptakan tradisi ini, tampaknya ingin menegaskan bahwa meski para pemimpin bisa berseberangan dalam pandangan, mereka harus tetap menghormati proses demokrasi yang melibatkan pergantian kepemimpinan.

Jokowi melanjutkan tradisi ini dengan menyambut Prabowo Subianto, lawan politiknya selama dua pemilu berturut-turut, sebagai presiden terpilih. Di sini, kita melihat dialektika Hegelian tentang sejarah, di mana tesis dan antitesis bersatu dalam sintesis baru. Pertentangan antara Jokowi dan Prabowo dalam ranah politik mencapai resolusi dalam bentuk persatuan nasional yang lebih besar, mencerminkan kesadaran bahwa kepentingan negara lebih tinggi daripada ambisi personal.

Secara sosiologis, tradisi ini juga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat. Ia mengajarkan bahwa politik bukanlah medan perang tanpa akhir, melainkan ruang di mana perbedaan dapat diatasi dengan cara yang damai dan terhormat. Ini adalah pesan bagi masyarakat bahwa demokrasi kita bukan hanya soal kemenangan dan kekalahan, tetapi juga soal bagaimana menerima hasil dan bergerak maju bersama.

Dengan demikian, tradisi penyambutan presiden di Istana Merdeka adalah sebuah simbol yang mengandung banyak lapisan makna. Ia bukan sekadar ritual formal, tetapi refleksi tentang keberlanjutan negara, supremasi hukum, dan kebijaksanaan politik dalam demokrasi. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa di tengah pergantian pemimpin, esensi negara sebagai penjaga keutuhan dan kepentingan rakyat tetap abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun