Sebagai makhluk sosial, kita dihadapkan pada pertanyaan apakah teknologi yang seharusnya mempermudah kehidupan kita malah menjadi alat penghancur moralitas kita sendiri.
Dalam teori modern tentang etika digital, privasi dianggap sebagai hak asasi yang harus dihormati oleh setiap individu. Sayangnya, dalam dunia di mana setiap tindakan bisa direkam dan disebarkan dengan satu klik, kita seringkali mengabaikan prinsip ini. Filsuf Immanuel Kant pernah mengatakan bahwa manusia tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk tujuan lain; manusia harus dihargai sebagai tujuan itu sendiri.Â
Namun, dalam kasus ini, jelas bahwa pelanggaran privasi menjadikan kedua pelaku sebagai objek konsumsi publik yang kehilangan hak mereka untuk dihargai sebagai manusia.
Ketika agama, filsafat, dan etika modern bertemu dalam persimpangan kasus ini, satu hal yang jelas: kita sedang mengalami krisis moral yang mendalam. Masyarakat kita telah terlalu jauh tenggelam dalam budaya voyeurisme, di mana kepuasan atas aib orang lain menjadi hiburan murah yang mengikis nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang dua orang yang melakukan kesalahan dan mendapat hukuman. Ini adalah refleksi tentang bagaimana kita sebagai masyarakat merespons fenomena tersebut. Apakah kita memilih untuk mengejar sensasi dan gosip, ataukah kita mampu menegakkan nilai-nilai moral yang lebih tinggi, yang sesuai dengan ajaran agama dan filsafat kehidupan?
Pertanyaannya kini terletak pada kita: apakah kita akan menjadi bagian dari solusi atau terus tenggelam dalam lingkaran destruksi moral ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H