OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah kekalahan dalam kontestasi politik berarti akhir dari kontribusi seseorang bagi bangsa?
Ataukah, justru memberi ruang bagi makna lebih besar tentang kerendahan hati dan kebersamaan dalam melayani negara?Â
Ketika Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD diundang menghadiri pelantikan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih, kita melihat potret nyata tentang harmoni dalam perbedaan dan siklus kekuasaan yang mengandung hikmah bagi semua pihak.
Dari perspektif agama Islam, pergantian kepemimpinan adalah sebuah takdir yang dijalankan melalui ikhtiar manusia. Seperti firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 26: "Katakanlah, 'Wahai Tuhan Yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki...'" Ayat ini mengingatkan kita bahwa kemenangan atau kekalahan dalam politik, seperti dalam segala aspek kehidupan, berada dalam kendali-Nya.Â
Kekuasaan adalah amanah, bukan sekadar trofi kemenangan. Menghadiri pelantikan bukan hanya soal menghadirkan diri secara fisik, tetapi juga merupakan simbol pengakuan atas takdir Allah yang menentukan siapa pemimpin bagi umat dan bangsa.
Dalam filsafat, gagasan mengenai rotasi kekuasaan sering dihubungkan dengan konsep keadilan. Filsuf Yunani, Plato, mengajarkan bahwa kepemimpinan haruslah berputar di antara orang-orang yang berkompeten, bukan terjebak dalam satu tangan. Lebih dari sekadar formalitas politik, undangan ini adalah pengingat akan pentingnya dialog, penghormatan terhadap lawan politik, dan komitmen pada nilai-nilai demokrasi yang lebih tinggi.Â
Bagi para kandidat yang kalah, ini bukan kekalahan eksistensial, melainkan bentuk penghormatan terhadap kontrak sosial yang disepakati rakyat.
Dari sudut pandang hukum, undangan kepada lawan politik yang kalah ini menunjukkan rasa hormat terhadap prinsip demokrasi yang berlandaskan hukum. Pemilihan Presiden 2024 sempat disengketakan di Mahkamah Konstitusi, tetapi proses hukum telah menyatakan pemenangnya dengan jelas.Â
Dalam konteks ini, kehadiran Anies dan Ganjar bukan hanya sekadar menghadiri sebuah seremoni, tetapi juga simbol komitmen untuk patuh pada keputusan hukum dan mengesampingkan perbedaan demi kestabilan negara. Ini merupakan pengejawantahan dari semangat rule of law yang menjadi pilar demokrasi modern.