OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagaimana susunan kabinet Prabowo-Gibran akan membentuk jalannya pemerintahan? Apakah penambahan kementerian sekadar strategi untuk merangkul koalisi pendukung, atau ini adalah bagian dari kompromi politik yang lebih dalam? Di balik pembentukan kabinet pemerintahan periode 2024-2029, tersimpan dinamika yang mencerminkan kekuatan politik patronase, negosiasi koalisi, dan hak prerogatif presiden.
Menjelang pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, isu susunan kabinet semakin menjadi perhatian publik. Pasangan ini diprediksi akan memperluas jumlah kementerian melebihi kabinet sebelumnya, langkah yang dinilai sebagai upaya untuk mengakomodasi partai-partai pendukung di Koalisi Indonesia Maju (KIM). Pertanyaannya, apakah langkah ini hanya sekadar bagi-bagi kursi, atau bagian dari strategi politik yang lebih cerdas?
Koalisi dan Kepentingan: Mengakomodasi atau Mengendalikan?
Dari perspektif teori koalisi pemerintahan, pembentukan kabinet adalah langkah krusial dalam menjaga stabilitas politik. Dalam sistem multipartai seperti Indonesia, kabinet sering kali menjadi alat untuk menjaga harmoni antara partai-partai pendukung pemerintahan. Dengan koalisi yang melibatkan berbagai partai besar dan kecil, Prabowo menghadapi tantangan untuk merangkul seluruh spektrum politik tanpa mengorbankan efektivitas pemerintahan.
Langkah menambah jumlah kementerian adalah upaya untuk menghindari potensi konflik antar partai pendukung. Semakin banyak posisi di kabinet, semakin besar peluang untuk memuaskan tuntutan politik masing-masing partai, menjaga dukungan mereka di parlemen. Namun, apakah penambahan ini akan memperkuat pemerintahan atau justru melemahkan efisiensi pemerintahan? Inilah dilema klasik dalam politik koalisi.
Politik Patronase: Megawati, NU, dan Muhammadiyah
Selain koalisi partai, faktor politik patronase juga memainkan peran penting dalam susunan kabinet. Hubungan antara patron dan klien terlihat jelas dalam posisi PDIP yang masih menunggu arahan dari Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri. PDIP, sebagai partai besar dengan sejarah panjang, sangat bergantung pada keputusan patronnya, Megawati, terkait siapa yang akan diusulkan masuk kabinet.
Di sisi lain, organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU juga terlibat secara tidak langsung. Nama-nama seperti Abdul Mu'ti dari Muhammadiyah dan spekulasi mengenai jatah kursi menteri untuk NU mencerminkan bagaimana patronase sektoral bekerja. Penempatan kader dari organisasi ini tidak hanya soal kemampuan, tetapi juga tentang menjaga hubungan baik dengan kelompok masyarakat yang memiliki basis massa besar dan pengaruh signifikan.
Hak Prerogatif Presiden: Di Mana Prabowo Berdiri?