OLEH: Khoeri Abdul muid
Apakah Musa hanyalah sebuah legenda, ataukah ia benar-benar tokoh sejarah yang pernah memimpin bangsa Israel dalam perjalanan menuju kebebasan?
Lebih dari sekadar nama, Musa---atau Moses, atau Mosye---adalah sosok yang mengilhami perdebatan teologis, filsafat, dan sejarah spiritual yang tak pernah pudar. Namun, apakah Musa benar-benar layak disebut sebagai "bapak monoteisme"?
Pertanyaan ini terus menggema di kalangan cendekiawan dan teolog, salah satunya bahkan muncul dari seorang skeptis agama, Sigmund Freud, yang meyakini bahwa Musa bukanlah keturunan Israel, melainkan bangsawan Mesir.
Freud, dalam karyanya Moses and Monotheism, menyatakan bahwa Musa mungkin bukan orang Israel asli, melainkan berasal dari bangsa Qibthi (Mesir Kuno). Dalam pandangannya, Musa adalah seorang bangsawan Mesir yang membawa ajaran monoteisme kepada orang-orang Israel yang ia pimpin dalam perjalanan eksodus dari Mesir.
Dengan dasar skeptisisme yang kuat terhadap agama, Freud tetap percaya bahwa Musa adalah tokoh nyata dalam sejarah, meskipun ia meragukan keyakinan bahwa Musa adalah orang Israel. Pandangan Freud mengguncang pemahaman tradisional dan memperlihatkan keterbatasan kita dalam memahami Musa hanya melalui lensa sejarah atau teologi.
Namun, mari kita tinggalkan sejenak argumen Freud yang terkenal itu. Alih-alih hanya membahas Musa sebagai figur sejarah, marilah kita menggali makna spiritual yang terkandung dalam kisah Musa.
Sebuah pertanyaan menarik muncul: Mengapa harus Musa? Mengapa tidak menggunakan nama lain seperti Moses atau Mosye? Apa arti sebenarnya dari nama ini, dan bagaimana itu mencerminkan perannya dalam sejarah spiritual umat manusia?
Dalam bahasa Arab, Musa () memiliki makna yang mendalam. Secara etimologis, kata ini berasal dari akar kata Mesir kuno, yang berarti "anak" atau "kelahiran." Musa adalah simbol kehidupan baru, kebangkitan, dan pembebasan.
Di Mesir, Musa diambil oleh keluarga Firaun setelah diselamatkan dari Sungai Nil---sebuah simbol air yang melambangkan kehidupan, transformasi, dan keberkahan. Dalam tradisi Islam, Musa tidak hanya dipandang sebagai nabi, tetapi juga sebagai pembawa pesan kebebasan dari penindasan dan kegelapan menuju cahaya monoteisme, sebuah konsep yang melampaui batas agama dan budaya.