Dan inilah dilema besar yang dihadapi oleh masyarakat Arab pada masa awal pertemuan mereka dengan gagasan kenabian: bagaimana memahami konsep wahyu yang transenden, sementara akal mereka masih terikat pada dunia yang terbatas oleh materi dan dewa-dewa? Filosofi Arab yang terbentuk dari pengaruh Yahudi dan budaya lokal memunculkan pertanyaan mendalam tentang peran manusia di hadapan Tuhan---apakah manusia sekadar menjadi penerima pasif wahyu, atau apakah ia juga diberi ruang untuk merenungi, menafsirkan, dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari?
Dalam pergulatan ini, akhirnya terbentuklah pemahaman baru yang mengintegrasikan aspek-aspek kunci dari kedua peradaban: bahwa nabi bukan hanya penerima wahyu, tetapi juga seorang pemimpin spiritual yang ditugaskan untuk membawa pesan Tuhan kepada umat manusia. Mereka tidak sekadar sarana, tetapi juga agen aktif dalam menyebarkan kebenaran ilahi, menggunakan bahasa dan budaya yang mampu dipahami oleh komunitas mereka.
Dan dalam dialog yang abadi antara Tuhan dan manusia, bahasa menjadi jembatan suci, menghubungkan yang fana dengan yang ilahi, membawa kita kepada renungan mendalam: apakah kita, sebagai manusia yang diberikan akal dan hati, siap untuk menerima dan memahami wahyu Tuhan dalam segala bentuknya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H