Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nabi: Titik Temu Dua Peradaban dan Pergulatan Bahasa Ilahi

6 Oktober 2024   20:31 Diperbarui: 6 Oktober 2024   20:34 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi alam semesta. shutterstock.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apa yang terjadi ketika dua peradaban besar bertemu, saling bertukar gagasan, bahasa, dan kepercayaan? Bagaimana pemahaman tentang Tuhan, wahyu, dan kenabian mengalami transformasi di antara masyarakat yang begitu berbeda, namun saling mempengaruhi?

Di tengah panasnya padang pasir Arab, datanglah orang-orang Yahudi yang diusir dari tanah Palestina setelah kehancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Mereka membawa serta tradisi, sejarah, dan bahasa mereka---termasuk gagasan tentang nabi, atau nevi dalam bahasa Ibrani. Namun, bagaimana interaksi ini membentuk masyarakat Arab pagan kala itu? Dan apakah dampaknya sama bagi kedua belah pihak?

Masyarakat Arab pra-Islam tidak sepenuhnya tertutup terhadap ide-ide baru. Meskipun masih dalam belenggu politeisme, pengaruh kedatangan bangsa Yahudi membawa dampak signifikan, terutama dalam bahasa. Contoh yang paling mencolok adalah terserapnya kata kitab---sebuah kata yang dalam bahasa Arab diadaptasi dari kata Ibrani ketuv, yang pada masa lalu digunakan untuk merujuk pada kumpulan manuskrip suci Yahudi. Begitu pula dengan konsep nevi yang berubah menjadi nabi dalam lidah Arab.

Tetapi apakah penerimaan bahasa ini diikuti dengan penerimaan makna yang sama?

Di satu sisi, orang Arab mulai mengenal ide bahwa Tuhan menyampaikan pesan-Nya melalui manusia pilihan, yang disebut nabi. Namun, pengertian mendalam tentang kenabian, atau mekanisme pewahyuan dari langit ke bumi, tidak sepenuhnya mereka pahami, apalagi diterima dengan sepenuh hati. Dalam pandangan mereka yang masih melekat pada kehidupan pagan, konsep firman ilahi yang diemban oleh seorang nabi masih terasa abstrak dan jauh. Mereka mungkin terpesona oleh gagasan tentang terafim dan kerofim, makhluk gaib yang diyakini oleh orang-orang Yahudi sebagai penjaga di hadapan Tuhan, tetapi pemahaman ini belum mampu menembus alam pikiran mereka sepenuhnya.

Lalu, bagaimana peradaban Arab mempengaruhi pendatang Yahudi ini? Masyarakat Arab, meski terlihat sederhana, memiliki daya tarik budaya tersendiri. Mereka merangkul beberapa konsep keagamaan dari Yahudi, namun memberikan sentuhan lokal. Salah satunya adalah bagaimana mereka menyebut malaikat. Terinspirasi dari gagasan Yahudi tentang para pengawal Tuhan di langit, orang Arab lebih suka menggunakan istilah dari bahasa mereka sendiri, sehingga terbentuklah kata malaikat---sebuah terminologi yang menyiratkan kemuliaan para punggawa langit.

Dari perspektif filsafat, fenomena ini menunjukkan bagaimana manusia, dalam konteks budaya dan kepercayaan yang berbeda, selalu berusaha untuk memahami konsep-konsep ketuhanan dengan menggunakan instrumen-instrumen logika dan bahasa mereka sendiri. Di sinilah kita melihat pentingnya bahasa sebagai medium yang bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga sarana transformasi makna. Bahasa, dalam hal ini, tidak lagi menjadi sekadar kata-kata, melainkan wahana refleksi, tafsir, dan adaptasi budaya terhadap wahyu ilahi.

Namun, apakah proses ini mengubah hakikat wahyu itu sendiri? Jika wahyu adalah manifestasi langsung dari kehendak Tuhan, maka adaptasi bahasa manusia terhadapnya tidak bisa mengubah intisari dari pesan itu. Teori wahyu dalam Islam menjelaskan bahwa firman Tuhan tidak terdistorsi oleh bahasa atau budaya, tetapi justru menembus segala bentuk keterbatasan manusia untuk menyampaikan pesan yang kekal. Al-Quran, sebagai puncak dari wahyu tersebut, diturunkan dalam bahasa Arab agar manusia dapat merenungi, memahami, dan menjalankannya.

Filsafat dan teologi Islam juga menawarkan pandangan yang lebih mendalam tentang peran kenabian. Para nabi tidak hanya dipilih secara acak, melainkan melalui proses seleksi ilahi yang menyaring mereka yang mampu menanggung beban pewahyuan. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Ghazali, kenabian adalah posisi yang melampaui batas-batas manusia biasa, karena ia melibatkan pengetahuan intuitif dan transendental yang ditanamkan langsung oleh Tuhan. Wahyu, dalam hal ini, menjadi medium sakral yang menghubungkan dunia fana dengan realitas ilahi yang tak terjangkau oleh nalar semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun