OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah kita hanya bisa berharap pada janji yang belum ditepati?
Di ruang guru yang pengap, Bu Mira menatap kalender di meja. Bulan Oktober telah tiba. Ia tersenyum miris, mengenang pidato panjang Hisyam saat kampanye. "Guru adalah pilar bangsa! Kesejahteraan mereka adalah prioritas saya!" teriak Hisyam dengan percaya diri di atas panggung. Sorot matanya yang berapi-api dan senyum meyakinkan membuat para guru, termasuk Bu Mira, bertepuk tangan penuh antusiasme. Mereka merasa, kali ini, ada harapan. Janji Hisyam tentang kenaikan gaji dua juta per bulan yang akan mulai berlaku bulan ini begitu menggugah semangat. Bu Mira bahkan sempat bermimpi bisa membayar cicilan rumah lebih cepat, atau setidaknya menghindari pinjaman tambahan untuk kebutuhan keluarga.
Namun, saat tanggal 1 Oktober yang dinanti-nanti tiba, harapan itu segera runtuh. Tambahan gaji yang dijanjikan itu belum juga direalisasi.
"Pernah dengar kabar soal kenaikan gaji dari Hisyam itu?" tanya Pak Danu, guru senior, sambil menyeruput teh yang mulai dingin. Di sudut ruang guru, Bu Rani, yang baru tiga tahun mengabdi, tertawa getir.
"Kabar apa, Pak? Yang saya dengar cuma kabar angin," jawab Bu Rani sinis.
Suara tawa kecil lainnya bergema di sudut ruangan. Para guru yang sedang sibuk mengoreksi buku siswa tampak lelah, bukan hanya karena pekerjaan mereka, tetapi juga karena lelah berharap. Bu Mira mengangguk pelan, matanya kembali tertuju pada kalender.
"Inflasi lagi-lagi menghantam kita, kan?" tambah Bu Mira sambil melipat tangannya di dada. "Harga kebutuhan pokok naik, listrik naik, biaya sekolah anak-anak juga naik. Sementara gaji kita... ya, segitu-segitu saja."
Pak Danu mendengus dan meletakkan gelas tehnya dengan kasar. "Hisyam itu cuma pandai bicara, Bu Mira. Dia paham betul cara menyentuh hati guru, tapi kenyataannya? Kita masih di sini, mengais sisa-sisa janji yang tak pernah datang. Gaji kita tergerus inflasi. Uang yang dulu bisa dipakai untuk belanja seminggu, sekarang habis hanya untuk tiga hari."
Bu Rani mengangguk setuju. "Saya pikir, dengan gaji sekarang, hidup kami akan sedikit lebih baik. Tapi kenyataannya, meski nominalnya naik sedikit, rasanya malah semakin sulit. Harga bahan makanan makin tak terjangkau. Jika begini terus, bagaimana kita bisa fokus mengajar?"