OLEH: Khoeri Abdul Muid
Mengapa Tuhan berbicara kepada kita? Mengapa ada yang dipilih untuk mendengar suara-Nya, sementara yang lain tidak?
Pertanyaan ini menggelitik logika, menyentuh rasa penasaran terdalam kita tentang hakikat wahyu. Dalam setiap agama besar, khususnya dalam Islam, wahyu dipandang sebagai komunikasi langsung antara Tuhan dan makhluk-Nya. Namun, bukan semua makhluk yang berkesempatan menerima pesan sakral ini. Mengapa manusia? Mengapa tidak semua manusia?
Materi wahyu bukanlah sekadar rangkaian kata-kata atau kalimat biasa. Untaian kata-kata ini adalah perkataan Tuhan yang disampaikan kepada makhluk-makhluk yang dipilih, dengan maksud khusus. Bagi malaikat, yang diciptakan sebagai makhluk langit, wahyu adalah perintah ilahi yang harus dipatuhi tanpa protes. Mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, hanya menjalankan tugas tanpa memiliki kehendak bebas. Malaikat adalah instrumen teknologi cahaya Tuhan, sekadar "robot" dalam semesta yang luas, bertindak tanpa dorongan nafsu atau pemikiran mandiri.
Namun, Tuhan juga berbicara kepada makhluk bumi, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an: "Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: 'Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia.'" (QS. An-Nahl: 68). Tuhan memberikan panduan kepada lebah, sebuah instruksi biologis untuk bertahan hidup dan melaksanakan fungsi ekosistemnya di bumi. Hewan dan tumbuhan, meskipun diberi naluri dan dorongan biologis, tidak memiliki logika atau perasaan seperti manusia. Mereka dihias untuk menghuni bumi dan menjalani peran penciptaan mereka tanpa pertanyaan.
Namun, berbeda dengan malaikat atau hewan, manusia dan jin, atau dalam istilah Sansekerta disebut gandharva (gandarwa), diciptakan dengan tujuan yang lebih luhur. Mereka diberi akal dan kemampuan analitik untuk menyadari kehadiran Tuhan dan memahami wahyu yang diberikan kepada mereka. Manusia dan jin diberi kehendak bebas untuk memilih jalan mereka---jalan pengabdian atau pemberontakan.
Mengapa Tuhan memperlakukan manusia dan jin secara berbeda dibandingkan dengan makhluk lainnya? Karena mereka dipanggil untuk menjadi bhakta---pengabdi---yang menyerahkan diri kepada Tuhan melalui jalan yang benar. Inilah esensi dari Islam, penyerahan total kepada Tuhan, yang diatur melalui syariat yang telah diturunkan.
Tetapi, bahkan di antara manusia dan jin, tidak semua individu memiliki kehormatan mendengar suara Tuhan. Tidak setiap orang berkesempatan menerima wahyu langsung dari-Nya, baik melalui bisikan intuitif maupun perantaraan malaikat. Mengapa demikian?
Jawabannya terletak pada konsep pemilihan ilahi. Tuhan memilih individu tertentu, baik nabi maupun orang-orang saleh, untuk menjadi penyambung lidah-Nya. Ini bukan karena mereka lebih istimewa secara duniawi, tetapi karena mereka telah dipilih untuk menjalankan misi besar, misi yang melampaui sekadar keberadaan fisik mereka di dunia ini.
Di sinilah filsafat dan agama bertemu dalam refleksi yang mendalam. Dalam filsafat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dan Ibn Sina, wahyu bukanlah sekadar bentuk komunikasi biasa. Wahyu adalah ilmu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah mencapai tingkatan spiritual tertentu. Al-Ghazali menyebut wahyu sebagai cahaya ilahi yang menerangi hati manusia, sementara Ibn Sina menjelaskan bahwa wahyu adalah bentuk tertinggi dari intuisi yang melampaui akal rasional manusia biasa.