OLEH: Khoeri Abdul Muid
Dalam hiruk-pikuk perayaan Dies Natalis Sanggar Literasi Cah Sor Pring (CSP) yang ke-6, waktu terasa begitu menekan. Setiap detik berlalu dengan cepat, seolah mengejar kita di tengah rangkaian acara yang berlarian tanpa jeda. Rasanya, tubuh ini terbelah di dua tempat sekaligus---antara euforia yang menyelimuti perayaan dan kelelahan yang diam-diam menggerogoti jiwa. Namun di balik segala keramaian ini, ada yang jauh lebih dalam dan bermakna, lebih dari sekadar rutinitas perayaan tahunan.
Salah satu titik sorotan dari rangkaian acara Dies Natalis ini adalah Festival Literasi Anak Desa (FLAD). Selama enam tahun CSP bertahan, mungkin tak selalu diiringi sorak gemuruh penonton, namun festival ini hadir sebagai penanda bahwa ada perjuangan yang terus hidup. Sebuah usaha tanpa henti untuk menjaga nyala literasi di tengah arus modernitas yang seringkali menggerus akar budaya. Meski hanya segelintir anak yang benar-benar tergerak untuk mencintai buku, mereka adalah penerus semangat yang menjaga api literasi tetap menyala. Di setiap buku yang dibuka dan setiap kata yang dibaca, tersimpan hikmah mendalam---seperti pesan Islam bahwa setiap tindakan baik yang diwariskan kepada generasi berikutnya adalah amal jariyah yang tak terputus.
Dan inilah kita, di Kabupaten Pati, sebuah tanah yang dihidupi oleh semangat kebudayaan dan literasi. Sanggar Literasi Cah Sor Pring, yang didirikan oleh sosok-sosok penggiat literasi, menjadi panggung tempat anak-anak desa mengekspresikan diri mereka melalui tulisan, puisi, dan cerita-cerita yang mereka ciptakan. Dalam setiap kata yang mereka tulis, ada makna yang jauh melampaui sekadar rangkaian kalimat; mereka menggerakkan pena tak hanya dengan tangan, tapi juga dengan jiwa. Seperti dalam filsafat Heidegger, waktu bukanlah sekadar hitungan detik, tapi sesuatu yang mengarahkan kita pada pemahaman eksistensi. Setiap lembar kertas yang dipenuhi tulisan adalah cara kita "berada" di dunia, cara kita menyadari bahwa kita ini bagian dari sesuatu yang lebih besar---sebuah sejarah yang tak boleh terputus.
Selama enam tahun perjalanannya, CSP tak hanya sekadar menjadi tempat berkumpul, tapi juga menjadi ruang di mana semangat belajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat berkelindan. Pengajaran tak hanya berhenti di ruang-ruang kelas, tetapi meluas ke tanah desa, menyentuh kehidupan nyata. Seperti yang diingatkan oleh David Kolb dalam teorinya tentang experiential learning, pembelajaran sejati terjadi ketika kita tenggelam dalam pengalaman. Setiap kegiatan di CSP bukan sekadar teori, melainkan upaya nyata untuk menyatu dengan realitas masyarakat, menyerap nilai-nilai lokal, dan merefleksikannya dalam kehidupan.
Namun, di tengah kesibukan itu, ada momen-momen kecil yang membawa kesan mendalam. Seusai menjalankan tugas sebagai penyelenggara, kaki ini melangkah ringan menuju rumah, menengok adik yang sakit, dan di sore hari bertemu dengan sahabat lama. Kehadiran mereka membawa nostalgia yang menghangatkan hati yang mulai lelah. Dalam Islam, ada istilah silaturahmi, dan setiap pertemuan tak pernah sekadar kebetulan. Ini adalah takdir yang mempertemukan kita dengan orang-orang yang mengisi dan memperkaya perjalanan hidup kita. Setiap senyum dan setiap kata adalah berkah yang tak ternilai.
Acara demi acara terus bergulir---Festival Literasi Anak Desa, Pagelaran Seni Tradisional, dan Pasar Literasi Kangen---semuanya bermuara pada puncak Upacara Dies Natalis ke-6 CSP. Namun di tengah segala perayaan ini, ada pertanyaan mendalam yang terus menghantui: apa yang kita kejar? Untuk apa kita berpacu dengan waktu? Apakah ini hanya tentang mengenang momen yang cepat berlalu, ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang kita perjuangkan?
Setiap langkah yang kita ambil membawa makna tersendiri. Sebagaimana dalam Islam diajarkan bahwa setiap perbuatan, sekecil apa pun, jika dilakukan dengan niat yang ikhlas dan tulus, akan bernilai ibadah. Begitu pula dalam ajaran filsafat Immanuel Kant, moralitas bukanlah tentang hasil, melainkan tentang niat di balik setiap tindakan. Acara Dies Natalis ini bukan hanya selebrasi tahunan, melainkan ladang amal yang kita tanam bersama---sebuah upaya untuk menjaga tradisi, membangun kebersamaan, dan menanam benih masa depan.
Dan di penghujung semua ini, ketika kelelahan mulai menghampiri, kita hanya bisa berharap bahwa setiap kerja keras yang kita curahkan, setiap tawa yang kita bagikan, dan setiap langkah yang kita tempuh akan membawa hidup kita pada makna yang lebih mendalam. Semoga Tuhan senantiasa memberkati, menguatkan, dan menuntun kita dalam setiap jejak langkah di jalan yang penuh hikmah ini.
Tabik mesra dari Pati, selamat berpacu dengan waktu dan kebajikan yang tak pernah mati.